Halaman

Translate

Senin, 31 Juli 2017

PENDIDIKAN INFOMAL MELALUI PAMERAN

Perubahan Musim

Summer merupakan musim yang paling dinantikan di Eropa. Perubahan sangat ekstrim terjadi. Pohon-pohon yang meranggas berubah menjadi menghijau. Tanah dan air yang menyatu jadi putih karena salju yang membatu, berubah menjadi berwarna-warni karena bunga rerumputan. Penampilan manusia juga terlihat kontras. Mulai dari ujung rambut sampai ujung kaki tertutup rapat oleh pakaian penghangat, berubah menjadi pakaian you can see. Cara berpakaian seperti itu bukan hanya terlihat di ruang terbuka, akan tetapi juga terasa di ruang tertutup seperti kampus. Dapat anda bayangkan bila anda di ruang kelas diajar oleh bule dengan celana pendek, dan baju tipis. Demikian juga toko-toko berubah wajah. Tadinya menjual mantel tebal, jaket kulit, dan pakaian penghangat lainnya berubah menjadi pakaian-pakain pendek dan tipis. Di semua tempat terasa perubahan. Kesempatan tersebut juga dimanfaatkan oleh pelajar terutama auslander untuk mencari duit, dengan kerja paruh waktu. Dan yang paling aneh dan tidak akan di jumpai di Indonesia adalah perubahan sinar matahari. Tadinya matahari kadang hanya bersinar satu jam sehari, pada musim panas bersinar lebih pagi dan bahkan hingga pukul 21.00. Sinar matahari inilah penyebab pangkal semua perubahan itu.

Berbeda dengan Indonesia, sinar matahari konstan setiap hari. Libur bisa dipindahkan kapan saja sesuai dengan kebijakan pemerintah, sebagaimana pada tahun tujupuluhan, libur kenaikan kelas adalah pada akhir Desember hingga awal Januari. Karena pergantian tahun, semua manusia begitu sibuk, agar liburan lebih bermakna maka dipindahkan pada Juli seperti sekarang ini. Suasana tidak begitu terasa di semua tempat sebagaimana di Eropah. Tetapi perubahan itu cukup terasa bila kita pergi ketempat-tempat umum seperti mall, Senayan dan tempat lain.

Perusahaan memanfaatkan momen tersebut untuk promosi. Seperti Pemerintah DKI Jakarta memanfaatkan momen liburan itu dengan mengadakan Pekan Raya Jakarta (PRJ) sekaligus memperingati ulang tahun kota Jakarta selama satu bulan penuh setiap tahun. Sekalipun tiket masuk Rp 20.000 perorang, tetapi PRJ tetap menjadi lautan manusia dan kendaraan. Tentu dapat dibayangkan besar transaksi yang terjadi di dalamnya. Kita sebagai orang tua yang membawa anak, berusaha memperkenalkan PRJ sekaligus menumbuhkan cinta terhadap DKI Jakarta.

Namanya anak-anak, matanya tertuju pada segala bentuk permainan. Semua permainan di coba tanpa memikirkan biaya. Kita sebagai orangtua bertindak sebagai pengendali. Kita mengarahkan anak-anak dengan permainan yang lebih baik dan dengan berbagai pertimbangan dan alasan. Dengan harapan, mereka juga menyadari dan menyesuaikan diri dengan situasi.

Pendidikan Tanggungjawab Bersama

Suasana berbeda jauh ketika kita melihat pameran yang diselenggarakan majalah Bobo di Senayan selama 8 hari. Anak-anak sangat menyukai momen tersebut. Setiap booth berhubungan dengan anak-anak. Tidak tampak dimata kita kalau perusahaan tersebut sedang pameran dan sedang berusaha mencari laba. Setiap anak yang mengikuti permainan/event, mendapat hadiah, walaupun hanya sebuah balon. Banyak event yang menarik perhatian anak-anak dan sekaligus mendidik. Anak memandang asing suasana tersebut. Disinilah kita melihat seberapa cepat anak tersebut mampu menyesuaikan diri. Pertama mereka malu-malu untuk mengikuti event. Lama kelamaan, waktu jadi kurang untuk mengikuti semua kegiatan. Tidak terasa perut juga lapar. Kebetulan tidak ada yang menjual makanan dan perusahaan Sari Roti membuka stand dengan makan roti tawar gratis, asalkan anak yang mengoles sendiri selainya.

Pertama anak-anak malu, dan juga tidak terbiasa menyediakan roti sendiri di rumah kalau ada orangtua. Tetapi karena perut makin lapar dan memutar kembali melewati stand tersebut akhirnya mampir juga. Tetapi mereka hanya memandang anak-anak yang lain makan roti. Saya mengerti anak saya lapar dan ingin menikmati roti tersebut, akhirnya saya bantu duduk dan mulai memegang roti dan anak juga ikut. Setelah anak saya selesai sepotong roti dan menggigit sekali, langsung saya ambil dan makan. “Bikin lagi, bapak juga lapar”. Tidak begitu lama, dia lancar dan terpaksa saya kendalikan, “Stop! Sudah cukup”. “Ini roti ke berapa?”. Baru lima pak, jawabnya. Sementara anak saya yang lain baru makan 1 atau 2 roti. Kita memberikan pelajaran kepada anak untuk mampu mengendalikan diri dan juga menghindari kerakusan.

Kita keliling lagi mengikuti permainan yang lain. Kali ini mereka lebih bebas, karena sudah mulai mengenal medan. Kami orangtua sudah mulai capek, dan mencari tempat duduk sekedar istirahat. Setelah saya pantau keempat anak saya pergi lagi makan roti tawar gratis dari Sari Roti dengan inisyatif sendiri. Kali ini saya tidak melarang dan mereka tidak tahu kalau mereka sedang dipantau. Tidak berapa lama mereka pergi mencari mainan lagi.

Sari Roti tidak mencari untung pada saat itu, akan tetapi benar-benar memberikan pelayanan pendidikan kepada anak-anak. Nilai yang ditumbuhkan adalah keberanian. Seandainya suasana itu di rumah atau di sekolah, pasti tidak ada rasa malu, sebab semua orang sudah di kenal. Tetapi berbeda dengan di pameran. Mereka tidak mengenal penjaga roti, tidak mengenal yang sedang makan roti. Mereka memerlukan waktu untuk memahami kalau anak-anak yang sedang makan roti adalah juga pengunjung yang berhak makan roti gratis, sehingga keberanian muncul.

Nilai yang kedua adalah kemandirian. Semua anak di sana ditongkrongi oleh orangtua masing-masing. Anak-anak sedang asyik sedang mengoles sendiri roti masing-masing. Ada yang blepotan hingga kemana-mana. Ada yang mencampur coklat, nenas, bluberry, kacang dalam satu roti. Anak saya yang ketiga menawarkan sepotong roti tetapi minta imbalan dibeli tas sekolah, dan berakhir dengan “deal”. Ukuran kemandirian lain adalah ketika anak-anak pergi dengan inisyatif sendiri dan makan secukupnya (tidak berlebihan).

Nilai yang ketiga adalah pengendalian diri. Mereka sudah mampu mengendalikan diri, dengan alat ukur makanan yang mereka makan. Jedah antara makan roti pertama dengan kedua cukup lama. Artinya tenaga roti pertama sudah hampir habis. Kalau tahap pertama anak kedua saya, makan 5 potong, maka tahap kedua hanya 2 potong. Demikian juga anak yang lain.

Nilai yang keempat muncul dalam pameran tersebut adalah kerjasama. Mereka bekerjasama dalam menyusun potongan gambar sehingga terbentuk gambar yang utuh. Kegiatan seperti ini sebetulnya sudah basi bagi mereka, tetapi karena suasananya berbeda akhirnya menarik juga. Kesalahan seseorang dalam penempatan potongan gambar tidak langsung ditanggabi emosional. Tidak ada yang mempersalahkan siapa sekalipun ada kesalahan.

Nilai yang kelima muncul dalam even tersebut adalah kesenangan. Kesenangan merupakan kebutuhan yang utama. Dalam kondisi senang, mereka akan lebih mudah turut pada orangtua.

Tentu saja masih banyak nilai yang tertangkap dalam pikiran mereka. Apa saja yang ditangkap oleh panca indera dan pikiran mereka, merupakan pengalaman sekaligus bahan pelajaran bagi mereka yang menimbulkan sikap yang luput dari pengamatan kita. Apakah yang diharapkan oleh Sari Roti dan perusahaan yang lain? Yang mereka harapkan adalah hubungan phisikologis atau ikatan batin yang kuat antara pelanggan dengan produsen. Mereka menciptakan suasana kekeluargaan. Anak-anak serasa di rumah sendiri. Sari Roti dianggab rumah mereka sendiri. Apakah Sari Roti menyadari bahwa mereka sudah menyelenggarakan pendidikan? Bagi mereka itu tidak penting. Tetapi bagi masyarakat atau bagi pemerintah itu penting, agar semua perusahaan memperhatikan pendidikan dalam setiap programnya.

Barangkali perusahaan sudah bangga dengan program Corporate Social Responsibility (CSR ) nya. Atau dengan CSR sudah merasa cukup untuk masyarakat Indonesia. UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 6 ayat (2): “Setiap warga negara bertanggung jawab terhadap keberlangsungan penyelenggaraan pendidikan”. Wujud pasal ini tidak selalu membentuk lembaga pendidikan formal atau nonformal atau memberikan beasiswa tetapi juga penyisipan nilai dalam programnya seperti diatas. Semoga semua perusahaan di tanah air mampu menerapkannya.

Artikel ini pengalaman pribadi 5 tahun yang lalu.
Read More..

IKUT MALAYSIA atau INDONESIA?

Belakangan ini ramai dibicarakan Surat Edaran Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI tentang publikasi Karya Tulis Ilmiah mahasiswa tanggal 27 Januari 2012. Seorang mahasiswa S1 dapat lulus bila Karya Tulis Ilmiahnya atau makalah dimuat dalam Jurnal ilmiah. Untuk dapat lulus S2 (magister) harus telah menghasilkan makalah yang terbit pada jurnal ilmiah nasional diutamakan yang terakreditasi oleh Dikti. Sementara untuk mahasiswa S3 (doctor) harus telah menghasilkan karya tulis ilmiah atau makalah pada jurnal internasional. Alasan dari kebijakan ini adalah karena makalah yang diterbitkan oleh Perguruan Tinggi Malaysia tujuh kali lebih banyak dibanding dengan makalah yang dihasilkan oleh Perguruan Tinggi Indonesia.

Salah satu karakter system informasi manajemen adalah sebagai penyadar (awareness). Jumlah makalah Perguruan Tinggi RI dan Jumlah makalah Perguruan Tinggi Malaysia sudah masuk pada database Dikti. Mereka sadar, bahwa jumlah makalah tersebut sangat timpang. Kalau dari segi jumlah Perguruan Tinggi ( apalagi jumlah mahasiswa Indonesia mungkin sebanyak penduduk Malayisa) pasti lebih banyak di Indonesia. Seakan-akan kepala pejabat pemerintah panas setelah menyadari data itu. Sebagai konsekuensinya timbul niat dengan tujuan baik dan visi yang benar, tetapi tidak memiliki misi.

Visinya tepat/bagus, karena kegiatan sedemikian akan sangat berguna dalam pengembangan kebiasaan mahasiswa dalam menuliskan hasil pengamatan, analisa dan pemikiran secara logis, sistematis dan terstruktur. Misinya tidak tepat (tidak ada misi), karena tidak ada langkah-langkah awal atau pendekatan yang dilaksanakan/dinstruksikan untuk mencapai visi tersebut. Misalnya langkah pertama, mewajibkan setiap Perguruan Tinggi memiliki Jurnal Ilmiah nasional. Setelah itu terlaksana dalam satu tahun, maka dilanjutkan dengan langkah kedua. Semua Jurnal Ilmiah Perguruan Tinggi harus terbit setiap akhir semester dengan ketebalan minimum 100 halaman. Langkah ketiga, setiap Jurnal Ilmiah kampus harus terbit setiap bulan dengan ketebalan minimum 200 halaman. Langkah keempat, Satu Perguruan Tinggi atau gabungan dari beberapa Perguruan TInggi harus memiliki Jurnal Imiah Internasional. Demikian seterusnya hingga dapat dipastikan bahwa semua makalah mahasiswa dapat tertampung dengan baik, perencanaan, pendanaan dan pengelolaannya dapat terlaksana dengan baik pula.

Niat atau visi itu dituangkan dalam bentuk kebijakan yang tidak didasari oleh data internal pendidikan tinggi Indonesia, hanya menunjukkan emosional karena data eksternal dari Negara jiran. Permasalahan yang pertama adalah jumlah mahasiswa yang lulus setiap tahun adalah jutaan, sementara Jurnal Ilmiah yang mampu menampungnya dipastikan tidak cukup. Makalah yang dimaksud juga tidak jelas. Apakah dia skripsi? Kalau yang dimaksud adalah skripsi, maka jumlah halaman satu skripsi lebih dari 100 halaman. Universitas Indonesia (UI) bisa meluluskan kira-kira 5000 sampai 6000 mahasiswa setahun. Itu artinya butuh Jurnal Ilmiah 500.000 sampai 600.000 halaman satu tahun. Itu baru satu universitas. Kalau yang dimaksud adalah hanya ringkasan skripsi, maka jumlah halamannya juga harus ditentukan. Misalnya satu makalah kira-kira 5 sampai dengan 10 halaman, sebagaimana diutarakan rector Universitas Indonesia Prof. Gumilar (Kompas.com) maka diperlukan 25.000 sampai dengan 60.000 halaman Jurnal Ilmiah setiap tahun hanya untuk Universitas Indonesia. Bila jurnal tersebut terbit setiap hari, maka ada 70 sampai 167 halaman setiap hari. Ini merupakan jurnal yang luar biasa besar.

Permasalahan kedua adalah, jurnal ilmiah yang dimaksud itu seperti apa? Apakah media online atau media cetak. Apakah jurnal yang dimiliki oleh internal kampus atau diluar kampus? Dapatkah kita bayangkan berapa tenaga dan biaya yang diperlukan untuk mencetak/menerbitkan jurnal dengan tebal 70 sampai 167 halaman setiap hari? Memang akan mempekerjakan banyak tenaga kerja. Permasalahan ketiga adalah siapa yang mengedit makalah tersebut? Apakah Dosen Pembimbing Akademik atau Tim Redaksi? Kalau skripsi/tesis/disertasi, jelas yang mengedit adalah Dosen Pembimbing Akademik. Tetapi apakah dia masih bagian dari skripsi/tesis/disertasi? Tidak otomatis bila skripsi sudah lulus maka ringkasannya juga lulus. Apakah bisa dijadwalkan 14 sampai 16 skripsi setiap hari untuk satu Perguruan Tinggi? Tampaknya sulit untuk dilaksanakan, karena sudah terjadwal semuanya selesai pada setiap akhir semester. Itu artinya akan terbit setiap akhir semester dengan ketebalan 12.500 sampai dengan 30.000 halaman. Apa ada didunia ini jurnal dengan tebal 12.500 sampai 30.000 halaman sekali terbit? Kalau terlaksana, akan ditemukan di Universitas Indonesia, dan Universitas yang lain sekaligus masuk Museum Rekor Indonesia (MURI) dan Guinnes Book of Record. Permasalahan keempat adalah waktu pelaksanaanya. Peraturan itu dikeluarkan pada 27 Januari 2012 dan akan dilaksanakan pada Agustus 2012. Apa mungkin? Harus dipegang bahwa pendidikan itu merupakan kebutuhan masa depan. Dengan demikian semua proses pendidikan harus direncanakan dengan matang. Tidak boleh berubah seketika ditengah jalan apalagi diujung perjalanan. Hal ini menjadikan dilematis bagi Perguruan Tinggi. Satu sisi harus taat pada peraturan sementara pada sisi yang lain peraturan tidak dapat dilaksanakan tepat waktu.

Apa itu adil untuk semua mahasiswa? Pasal 4 ayat 1 UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyebutkan “Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa”. Adil dalam artian setiap mahasiswa mendapat perlakuan yang sama dan memiliki hak dan kewajiban yang sama. Jangan sampai mahasiswa tidak tamat karena karya tulis ilmiah tahun ini. Kalau untuk mahasiswa yang tamat tahun 2011 beban selain perkuliahan adalah skripsi. Sementara beban mahasiswa tahun 2012 ditambah dengan beban karya tulis ilmiah yang harus terbit terlebih dahulu. Semua mahasiswa pada tahun pertama atau sebelum memasuki perkuliahan sudah menerima matakuliah apa yang harus ditempuh. Inilah momen bagi Perguruan Tinggi untuk mengambil jalan pintas, dengan ungkapan yang penting ada. Sifat keilmiahannya jadi hilang, mutu makalah bisa jauh dari yang diharapkan. Tujuan utamanya menjadi tidak jelas. Mutu pendidikan Indonesia bukannya mampu menyaingi Malaysia, akan tetapi makin jauh.

Permasalahan kelima adalah alasan. Mengapa Negara Indonesia yang besar ini secara terang-terangan mengatakan karena Perguruan Tinggi Malaysia sudah menerbitkan makalah pada jurnal ilmiah tujuh kali lebih banyak dari Perguruan Tinggi Indonesia? Mengapa tidak mencari alasan dengan berdasarkan hukum seperti UU Nomor 20 Tahun 2003, atau alasan tujuan pendidikan tinggi, atau alasan lain yang bersifat ke Indonesia? Suatu saat pendidikan Malaysia mengharuskan mahasiswanya menulis makalah yang terbit di Jurnal Ilmiah minimal 100 halaman seorang. Apa pendidikan Indonesia ikut?

Permasalahan keenam adalah sikap. Sikap buru-buru, tidak hati-hati, tidak berdasar pada fakta/data, tidak empati, tidak pionir/panutan, tidak adil sebagaimana sudah disinggung diatas. Tidak pionir artinya cara pengambilan keputusan seorang pejabat atasan semestinya menjadi panutan juga untuk pejabat dibawahnya.

Namun sikap yang positip juga banyak yaitu: 1) Komunikatif, antara kampus yang satu dengan kampus yang lain saling berkomunikasi dan berdiskusi tentang bentuk implementasi yang terbaik. 2) Berani, pemerintah melakukan sesuatu yang berani. Berani menanggung kritik dari sebagian masyarakat akademis, berani menanggung resiko tidak berhasil atau dilaksanakannya kebijakan tersebut. 3) Rajin menulis dan membaca. Mahasiswa akan lebih rajin membaca dan menulis. 4) Jujur. Sikap jujur akan meningkat dikalangan mahasiswa, sebab semuanya akan lebih transparan. Plagiat akan hilang, dan sekaligus sikap menghargai hasil karya orang lain. 5) Kritis. Setelah membaca dan menganalisa tulisan-tulisan dalam jurnal tersebut tentu saja aka ada komentar. Ada yang mengakui, ada yang menyangkal dan ada pula yang memberi saran. 6) Demokratis, menghargai/menerima hasil karya dan pendapat orang lain dengan lapang dada. 7) Tanggungjawab, setiap mahasiswa wajib mempertanggungjawabkan segala akibat dari tulisannya. Mahasiswa tidak hanya berhubungan dengan dosen pembimbing, akan tetapi berhubungan dengan dan bertanggungjawab kepada masyarakat luas.

Disamping sikap yang timbul, tentu yang paling utama adalah tulisan itu ada masyarakat yang membaca dan menggunakannya/menerapkannya. Manfaat yang lainnya adalah terciptanya ruang belajar baru. Bila Jurnalnya itu online, maka ruang belajar tersebut tak terbatas. Jurnal tersebut menjadi pembelajaran bagi siapa saja, mahasiswa, dosen, aparat pemerintah, LSM, dan masyarakat Indonesia bahkan masyarakat internasional termasuk Malaysia. Manfaat akhir dari semua makalah dan jurnal ilmiah tersebut adalah dampak pada kehidupan yang lebih baik, baik dari segi ekonomi, sikap/karakter/budaya dan kecerdasan berbangsa dan bernegara.

Apakah hubungannya dengan sekolah dasar dan terutama menengah? Surat Edaran Direktorat Pendidikan Tinggi dan respon masyarakat kampus menjadi informasi eksternal terhadap lembaga pendidikan dasar dan menengah. Berita ini menjadi pemicu untuk membiasakan diri menulis. Pemikiran yang muncul untuk diimplementasikan: 1) Kalau mahasiswa harus menulis makalah pada Jurnal Ilmiah, sementara guru semuanya sudah pernah mahasiswa, maka guru juga sebaiknya demikian menuliskan pemikirannya dalam jurnal atau media yang lain. 2).

Tampaknya kegiatan tulis menulis sudah semakin diperhatikan oleh pemerintah, maka lembaga pendidikan dasar dan menengah mengantisipasinya dengan meningkatkan budaya menulis dan atau meringkas tulisan/buku. 3) Memulai membuat Jurnal Ilmiah sekalipun itu tidak keharusan. Penulisnya boleh guru, dan juga paling utama adalah siswa. Tulisan siswa dapat berupa hasil pemikiran, pengamatan, laporan dan bentuk yang lain sebagaimana mereka telah pelajari dalam Mata Pelajaran Bahasa Indonesia. Boleh juga hasil ringkasan/tanggaban atas tulisan orang lain atau ringkasan sebuah buku. Kebijakan penulisan Karya Tulis Ilmiah harus memiliki misi yang jelas dengan memperhatikan kondisi nyata dilapangan.

Artikel ini pernah dimuat dimajalah GEMA Widyakarya, akhir tahun 2012
Read More..

PEMBENTUKAN KARAKTER BANGSA DI SEKOLAH



Pendahuluan

Semua teory belajar mengandung arti bahwa seseorang dikatakan berhasil dalam belajar jika terjadi 3 perubahan dan perubahan itu berlangsung relative lama. Perubahan dalam pengetahuan (knowledge, kognitif), perubahan dalam keterampilan (skill, psikomotorik), dan perubahan dalam sikap (attitude, afektif). Ketiga aspek inilah kandungan kompetensi. Jika besar tiap perubahan berada pada atau lebih dari nilai minimum yang ditetapkan, maka seseorang (peserta didik) dikatakan kompeten.

Pengetahuan lebih condong pada tingkat inteligensi. Semakin banyak yang dia tahu semakin tinggi tingkat inteligensinya. Semakin dapat mengkombinasikan pengetahuan yang satu dengan pengetahuan yang lain untuk mendapatkan ide atau gagasan semakin cerdas orangnya. Kecerdasan juga dapat berupa kemampuan untuk menggali kembali dan menggunakan/mengkombinasikan pengetahuan untuk mendapatkan pengetahuan yang lain untuk diaplikasikan.

Keterampilan berlandaskan pada pengetahuan. Tanpa pengetahuan tidak ada keterampilan. Semakin cepat seseorang menggali kembali pengetahuan dan mengkombinasikannya sehingga terbentuk ide atau gagasan baik dalam bentuk tulisan maupun dalam bentuk lisan, orang itu disebut terampil menulis, terampil berbicara. Keterampilan dapat dibangun melalui latihan. Kata orangtua, “bisa karena biasa”. Pepatah yang lain yang hampir dekat adalah “setumpul-tumpul pisau, kalau diasah tajam juga”. Jadi keterampilan berhubungan dengan waktu dan latihan/frekuensi/kebiasaan. Parameter waktu dan frekuensi membutuhkan energy/tenaga dan konsentrasi.

Pertanyaan yang mengukur psikomotorik sering saya ajukan kepada siswa jurusan adiministrasi Perkantoran (Sekretaris). Pertanyaan pertama, apakah seorang Professor bisa mengetik surat? Semua menjawab: “Bisa”. Pertanyaan kedua, siapa lebih cepat mengetik surat, Professor atau siswa Jurusan Administrasi Perkantoran? Professor pak. Kata siswa yang lain. Ada juga yang tidak menjawab apa-apa. Seakan akan mereka enggan mengatakan bahwa mereka lebih cepat mengetik surat ketimbang Professor. Kemudian saya berkata: “ Kalianlah yang lebih cepat mengetik surat dari Professor. Sebab seorang Professor tidak bertugas untuk mengetik surat. Jadi tidak terbiasa. Seorang professor lebih mengandalkan otak ketimbang tangan. Tetapi kalian sudah di ajari dan di latih mengetik berbagai macam surat, dengan minimum 150 epm (entakan per menit) atau bahkan mengetik tanpa melihat tuts sama sekali.”

Kapankah muncul sikap? Pertanyaan ini sangat penting. Ketika pertama sekali muncul Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) pada tahun 2004, muncul kata “performance indicator” pada salah satu kolom kurikulum, yang diartikan dengan indicator kinerja atau performa atau sikap kerja. Performa tersebut berasal dari rangkaian panjang usaha sekolah kejuruan mendekatkan diri dengan Dunia Usaha dan Dunia Industri (DUDI) yang dikenal dengan link and match. Yaitu kesesuaian/kecocokan dan keselarasan antara Sekolah dengan DUDI. Salah satu wujudnya dalam bentuk kurikulum adalah KBK. Bagian dari KBK tersebut adalah performance indicator. Performa atau sikap kerja apakah yang diperlukan oleh anak dalam mempraktekkan kompetensi yang sedang dipelajari?

Misalnya kompetensi yang sedang dipelajari adalah Mengetik Surat. Maka salah satu sikap kerjanya adalah Badan Tegak. Sekalipun sikap itu tidak ditunjukkan siswa (mengetik dengan bungkuk), bukan berarti pekerjaan tidak selesai. Jadi sikap kerja ini tidak mengukur kompetensi Mengetik yang hanya dilihat dari hasil yaitu surat semata, tetapi berhubungan dengan etis, keselamatan, kesehatan kerja dan norma. Sikap Kerja ini lebih penting bila kompetensinya berhubungan dengan alat tehnologi tinggi, alat berat atau alat yang mahal dan beresiko tinggi. Sikap seorang pilot harus tetap terjaga, jangan sampai bercengkrama dengan orang lain. Oleh karena itu, performance indicator sangat diperlukan untuk Mata Pelajaran Produktif yang berhubungan langsung dengan kerja. Sebaliknya Mata Pelajaran adaptif seperti Matematika tidak begitu memerlukan performance indicator.

Sikap kerja (performance indicator ) ini sering dianggab sama dengan attitude (afektif). Sesungguhnya memiliki perbedaan yang sangat jauh. Afektif merupakan respon akibat kita peroleh pengetahuan atau dan keterampilan yang baru. Setiap siswa memiliki sikap yang berbeda bila menerima pengetahuan dan keterampilan yang sama. Sebaliknya setiap siswa harus memiliki sikap kerja yang sama bila menerima pengetahuan dan keterampilan yang sama pula. Mengukur sikap kerja sangat mudah, tetapi sebaliknya mengukur sikap (attitude, afektif) sangat susah. Misalnya seorang guru memperkenalkan seekor ular kepada siswanya. Pasti setiap siswa menunjukkan respon yang berbeda-beda. Mungkin ada yang berteriak, ada yang ketakutan sambil menjauh dan mungkin juga ada yang ingin memegangnya. Ketika siswa melihat ular tersebut makan babi hutan (memberikan pengetahuan baru akan sifat ular), mungkin jumlah siswa yang ketakutan bertambah. Jadi semakin banyak pengetahuannya, sikapnya juga bisa berubah.

Tugas guru atau Kepala Sekolah adalah bagaimana menciptakan supaya terjadi proses belajar. Disinilah dituntut tugas guru sebagai fasilitator untuk menyajikan dan menyusun materi pelajaran sehingga mampu menjadi stimulus. Siswa mengalami perubahan pengetahuan, sikap dan keterampilan. Perubahan itu cukup lama dan mampu menangkap perubahan yang baru lagi dan seterusnya sehingga terbentuk siswa dan manusia Indonesia yang cerdas (cognitive), yang terampil (psikomotorik) dan manusia yang berkarakter ( sesuai dengan afektif).

Pembentukan Karakter

Sebagimana sudah dibahas di atas, bahwa setiap orang memiliki respons yang tidak sama atas suatu stimulus yang sama. Setiap orang juga akan mengalami perubahan respons bila disuguhi beberapa kali stimulus yang sama atau hampir sama. Sebab manusia disebut sebagai mahkluk individu. Manusia adalah unik. Persoalan adalah bagaimana menyusun dan menyajikan stimulus yang sama tersebut. Kapan disajikan?

Contoh Kasus Pertama. Air mengalir dari tempat yang tinggi menuju tempat yang rendah. Bila air dipanaskan akan memuai (kecuali pada suhu dari 0 oC hingga 4 oC, volume air malah menyusut yang disebut dengan anomali air), dan bila suhunya sampai 100oC atau lebih akan menguap. Bila air didinginkan maka volumnya akan menyusut dan bila hingga 0 oC atau hingga sampai pada suhu negative maka air tersebut akan berubah wujud menjadi padat (es). Demikianlah sifat air. Mau dimanapun dan kapanpun air seperti itu. Air tidak mengenal orang, air tidak mengenal bangsa, tidak mengenal suku, tidak mengenal Negara. Tetapi air mengenal wadahnya, air mengenal perbedaan tempat, dan mengenal suhu. Karena sifat air tersebut yang tidak pernah ingkar, maka manusia dapat mempercayainya 100% untuk dimanfaatkan. Setiap karakteristik air dapat dimanfaatkan demi kemakmuran umat manusia. Karakteristik “mengalir dari tempat tinggi menuju tempat rendah” manusia memanfaatkannya untuk transportasi, untuk pembangkit listrik, olah raga, dan lain. Karakteristik “membeku” dimanfaatkan manusia sebagai pengawet makanan, penyejuk minuman. Karakteristik “menguap” digunakan manusia sebagai pembangkit listrik dan juga untuk memasak makanan. Karakteristik “cair” dimanfaatkan manusia sebagai katalisator (pelarut). Makanan yang kita makan tidak berguna bila tidak ada air yang melarutkannya. Tubuh kita terdiri dari 80% air yang berfungsi sebagai katalisator. Itu adalah karakteristik air, bagaimana dengan karakteristik (karakter) manusia?

Contoh kasus kedua Misalnya seorang siswa SD kelas 6. Tentu saja dia sudah belajar selama hampir 6 tahun. Kita beri stimulus berupa pertanyaan, “Apakah cita-citamu”. Anak itu menjawab, “jadi dokter pak”. Tahun berikut dia masuk SMP. Disana belajar hampir 3 tahun. Dijejali kompetensi matematika, IPS, IPA, Bahasa Inggris dan lain-lian. Dalam 3 tahun tersebut dia menerima banyak pengetahuan, baik formal dari sekolah maupun informal berupa pengetahuan yang didapat dari lingkungannya. Dia sudah mulai tertarik dengan berita televisi dan media cetak yang sering membahas korupsi. Kemudian stimulus yang sama kita berikan, “Apakah cita-citamu?”. Dia menjawab, “Saya mau jadi pengacara pak”. Pada saat ini sikapnya sudah berubah. Cita-cita pertamanya adalah dokter. Sekarang berubah menjadi pengacara. Ketika siswa tersebut tamat SMP dan masuk pada SMA, kita berikan lagi stimulus yang sama. “Apakah cita-citamu ?”. Dia menjawab, “Saya mau jadi pengacara pak”. Setelah tamat SMA, dia melanjutkan ke perguruan tinggi dengan jurusan hukum. Stimulus yang sama diberikan, “Apakah cita-citamu?. Dia menjawab, “ pokonya saya mau jadi pengacara yang kondang”. Pada tahap ini sikap sudah tidak berubah. Pada kondisi ini, kita menyebut si mahasiswa sudah berkarakter, yaitu konsisten.

Barangkali orangtuanya sudah merayu agar jadi dokter. Sudah menjanjikan beli mobil asal mau jadi dokter. Tetap juga pilihannya harus jadi pengacara. Dalam contoh kasus ini pembentukan karakter memerlukan waktu lebih dari 10 tahun. Dimulai dari dia SD,SMP dan dijejali dengan kompetensi pada SMA hingga pada Perguruan Tinggi.

Contoh kasus ketiga. Misalnya siswa jurusan Tahknik Komputer Jaringan (TKJ) memiliki pengetahuan dan keterampilan merakit Komputer. Ketika dia melihat tetangganya yang sedang masalah dengan komputer, maka dia langsung menawarkan bantuan dengan berkata: “Komputer bapak ini harus dirakit ulang dan saya sanggub melakukannya. Bapak tak perlu pikirkan jasanya.” Disini muncul sikap dermawan.

Pada kesempatan yang lain, temannya jurusan Adminstrasi Perkantoran menghadapi masalah dengan komputernya. Komputer tersebut butuh rakit ulang. Siswa TKJ berkata: “Wani Piro”. Disnilah muncul sikap komersil. Kejadian berulang lagi. Kali ini temannya siswa jurusan akuntansi. Setelah merasakan nikmatnya duit yang diberikan temanya, maka dia berkata:”Sebagai teman, saya akan siap membantu. Setiap bulan saya rutin membeli majalah Komputer. Setiap malam saya membuka internet. Semuanya itu memerlukan duit. Kau kasih sajalah aku Rp 500.000. Pokonya besok kau terima beres.” Dalam tahap ini siswa tersebut sudah mengalami pematangan sikap, yang disebut dengan karakter, yaitu komersil.

Dalam tulisan ini, karakter saya bagi dua bagian. Karakter dasar dan karakter lanjutan. Karakter lanjutan. Karakter dasar adalah karakter yang muncul karena interaksi dengan dirinya sendiri. Sedangkan karakter lanjutan adalah karakter yang muncul akibat berinteraksi dengan orang atau kelompok/organisasi.

Karakter Dasar.

Karakter pertama adalah logis. Logis adalah sikap orang yang selalu menggunakan logika. Logis dapat juga diartikan dengan perbuatan atau sikap atau prilaku yang masuk akal, sesuai dengan norma, sesuai dengan aturan umum atau sesuai dengan kebiasaan dan sesuai dengan hukum. Perbuatan yang logis tersebut sesuai dengan alur pikiran atau logika. Bersifat hormat kepada orang yang lebih tua adalah logis. Ketika guru berbicara (menjelaskan materi) dan siswa tidak berbicara adalah logis. Tidak logis ketika guru menjelaskan dan siswa berbicara juga. Lebih tidak logis lagi siswa tersebut membicarakan bukan materi yang sedang dipelajari. Ketika kita sedang berbicara dan siswa yang sedang kita ajar juga ada yang sedang berbicara dan langsung kita berikan teguran adalah sikap logis. Isi teguran yang kita berikan menjelaskan bahwa perbuatannya tidak sopan dan dapat mengganggu konsentrasi teman yang lain. Kurang logis bila kita langsung memarahi atau menghukumnya tanpa meminta penjelasan dan pertanggungjawabannya.

Ketika seorang siswa menertawakan kesalahan siswa yang lain juga tidak logis. Peristiwa ini sering terjadi. Sesungguhnya mereka yang ketawanya paling lebar tidak jauh beda dengan temannya yang sedang melakukan kesalahan. Tertawa muncul ketika ada yang lucu, bukan karena orang melakukan kesalahan. Justru manusia tidak pernah luput dari kesalahan.

Siswa yang pendek atau dan kecil duduk di depan di ikuti dengan siswa yang lebih tinggi atau besar duduk di belakang adalah logis. Tidak logis kalau siswa duduk sesuka hatinya. Bila siswa yang satu menghalangi siswa yang lain, akan menciptakan suasana yang tidak kondusif. Dari segi estetika, logika juga menghasilkan keindahan.

Tugas guru adalah untuk meletakkan segala sesuatunya dalam logika. Semuanya harus logis, terutama penyusunan kata-kata dan penyusunan bahan ajar. Inilah tugas yang paling berat. Bila sesuai dengan logika, maka orang lain akan mudah mengerti. Materi disusun mulai dari yang paling sederhana menuju ke yang kompleks. Mulai dari yang mudah menuju ke hal sukar. Setiap materi diberikan konsep yang jelas, yang menjadi pedoman untuk materi selajutnya. Defenisi disusun sehingga tidak multi tafsir. Latihan disajikan tidak selalu menghitung, akan tetapi mencoba menggunakan logika dengan jawaban benar atau salah. Benar atau salah adalah sikap yang harus ditunjukkan dalam waktu singkat. Logika dapat mempermudah dan mempercepat pekerjaan. Perhitungan adalah alat untuk membuktikan sikap tersebut. Benar atau Salah memiliki dua alternative jawaban. Bentuk latihan ini dapat juga dikembangkan sehingga alternative jawaban 4 atau 5 yang disebut dengan Pilihan Berganda. Disamping logika menghemat energy, logika juga sebagai indicator, apakah hasil perhitungan kita logis atau tidak.

Contoh soal: Tantri membeli buah Rp 30.000.000. Karena kemacetan yang luar biasa, maka dia rugi 25%. Maka besar penjualan Tantri adalah…. a. Rp 37.500.000 b. Rp 30.000.000 c. Rp 22.500.000 d. Rp 7.500.000 Penyelesaian: Pertama kita menggunakan logika. Karena Tantri rugi, maka besar penjualan lebih kecil dari 100%, atau lebih kecil dari Rp 30.000.000. Pilihan yang sesuai logika adalah c atau d, dan jawaban yang paling tepat adalah c. Sementara d yaitu Rp 7.500.000 terlalu kecil, karena kerugian hanya 25%.

Kedua dengan menghitung. Penjualan= (100%-25%).Rp.3.000.000 = 75%. Rp.3.000.000= Rp 22.500.000. Di samping logis juga menyangkut kepatutan/kepantasan, kewajaran yang menyangkut manusia, tetapi juga menyangkut biologis, fisik, maupun kimiawi. Itu logis kalau pohon kelapa tumbuh dan berbuah di tepi pantai, karena itulah habitatnya. Tetapi menjadi suatu yang tidak logis, tidak masuk diakal atau di luar jangkauan pikiran manusia bila pohon kelapa tumbuh dan berbuah baik di puncak gunung Merapi. Itu logis kalau air mengalir dari tempat tinggi ke tempat yang lebih rendah. Tetapi menjadi sesuatu yang tidak logis kalau air mengalir dari pantai ke gunung. Sesuatu yang tidak logis menimbulkan rasa ingin tahu.

Tidak logis, air bekas celupan batu seorang bocah Ponari mampu menyembuhkan berbagai macam penyakit. Sikap logis mampu menghindari kita dari tipuan atau godaan ataupun kesesatan berpikir. Logika membuat orang berpikir rasional, abstrak, cermat, objektif dan kritis. Akhirnya logika mampu meningkatkan kemampuan berpikir secara tajam dan mandiri atau menambah kecerdasan seseorang.

Karakter dasar kedua adalah kritis. Pada ilmu matematika terutama pada fungsi, kita jumpai titik kritis. Fungsi Kuadrat memiliki satu titik kritis yaitu titik puncak maksimum atau titik puncak minimum. Sementara pada fungsi polynomial kita jumpai ada 3 jenis titik kritis yaitu titik puncak maksimum, titik belok dan titik puncak minimum. Pada titik ini terjadi perubahan gradient (kemiringan garis lurus di lihat dari sumbu x). Di sebelah kiri titik puncak maksimum memiliki gradient positif (naik), kemudian pada satu titik (titik kritis/titik puncak) memiliki gradient nol (datar) dan sebelah kanan kurva/grafik memiliki gradient negative (turun). Jadi titik kritis merupakan titik perpisahan antara naik dengan turun. Sementara pada titik kritis berupa titik belok, terjadi perubahan gradient dari naik menuju nol dan naik kembali atau dari turun menuju nol dan turun kembali.

Kata kritis juga dipakai untuk orang yang sakit. Kondisinya kritis, artinya orang tersebut berada pada titik antara hidup dan mati. Dia sudah melewati titik kritis. Artinya sudah mulai sembuh. Kritis yang kita maksudkan dalam tulisan ini adalah sikap yang muncul akibat diterimanya pengetahuan/pelajaran. Kemampuan untuk melihat benang merah persoalan. Ada 3 defenisi kritis yang berhubungan dengan sikap : 1) bersikap tidak lekas percaya, 2) bersikap selalu berusaha menemukan kesalahan atau kekeliruan, 3) tajam dalam menganalisa (http://www.artikata.com/arti-336505-kritis.html).

Sikap tidak lekas percaya sama artinya dengan kondisi siswa kritis antara ya atau tidak. Antara percaya atau tidak percaya. Kondisi ini menuntut siswa bertanya untuk mencari informasi yang meyakinkan untuk mengambil keputusan. Apakah informasi menyangkut kelemahan/kekeliruan maupun untuk mencari kelebihan, atau mencari sebab atau alas an. Disinilah kritis jadi diartikan dengan analisa yang tajam.

Kritis bersesuaian dengan sikap logis. Logis selalu dikaitkan dengan implikasi. Jika begini, maka begitu. Kritis merupakan kemampuan dan keberanian untuk melihat dan mengutarakan kesesuaian sesuatu dengan logika. Bila logika belum tertanam dengan baik, atau bila seseorang belum memiliki sikap logis, maka sikap kritis susah ditemukan.

Contoh kasus kempat. Pada Ulangan Umum suatu sekolah, ditemukan soal matematika tidak memiliki nomor 1. Soal di mulai dari nomor 2. Tetapi nomor 20 ada dua. Seketika semua siswa saling Tanya dan juga pengawas. HP juga berdering dari beberapa pengawas. Panitia memanggil guru pembuat soal (yang mengajarkan matematika) selaku penyusun soal dan menyarankan agar diumumkan melalui mikrofon, apakah nomor 1 bonus atau bagaimana. Sang guru menjawab, bahwa pengumuman melalui mikrofon tidak perlu. Kesalahan kita, tidak perlu diketahui orang luar, cukuplah kisa saja yang mengetahui. Inilah sikap yang wajar atau logis. Kemudian sang Guru coba menjelaskan kepada dua orang pengawas yang menemuinya di ruang panitia. Seorang dari mereka dengan cepat mengerti dan mengumumkannya kebeberapa ruangan. Akhirnya Sang Guru masuk ke ruangan dimana pengawas yang menemuinya. Lalu berkata kepada siswa dalam ruangan itu, “…belajar matematika, berarti belajar logika. Dengan logika kita harus mampu menemukan solusi yang pasti dari persoalan yang muncul seperti ini”. Tolong urutkan mulai dari nomor 1. Sehingga nomor 20 yang pertama menjadi nomor 19.

Dari contoh kasus di atas, 10 orang pengawas dan 180 siswa sudah menunjukkan “kritis”. Mereka tidak menemukan soal nomor 1, dan menemukan 2 soal nomor 20 yang berbeda. Mereka belum mampu melampaui titik kritis tersebut. Mereka masih berada pada batas antara ya dan tidak. Tidak berani memutuskan untuk mengatakan: “urutkan saja mulai dari nomor 1”.

Contoh kasus kelima. Sudah menjadi kebiasaan bagi saya untuk memeriksa Pekerjaan Rumah (PR) siswa ditempat. PR dikerjakan pada modul. Sebelum pelajaran di mulai, PR diperiksa-satu persatu. Siswa menunjukkan pekerjaanya, sambil berkata: “ ini nomor 1, nomor 2, …., nomor 10”. Ketika seorang siswa menunjukkan: “ Ini nomor 1 (sambil menunjuk), nomor 2….7, a..eee., 9, dan ini nomor 10”. Dia menunjuk dengan cepat, tetapi macet sesudah nomor 7. Dan ternyata dia tidak menemukan nomor 8, sambil menggeser telunjuk kemana-mana.

Secara logika, bila dia memang benar mengerjakan PR sendiri, maka dia harus mampu menunjukkan dengan tepat nomor. Ketidak mampuan menunjukkan nomor 8 menjadi pertanda awal untuk dicurigai. Tindakan selanjutnya adalah memeriksa kesesuaian nama siswa dengan nama yang tertulis pada modul. Ternyata siswa tersebut telah melakukan penipuan. Kemampuan ketidaksesuaian dengan logika inilah yang kita namakan kritis. Dalam hal ini kritis mampu membongkar penipuan.

Contoh kasus kenam. Dua orang polisi sedang bertugas di tengah kota. Mereka mengamati setiap orang yang lewat melalui sebuah mobil. Polisi A: ”itu lelaki yang sedang memakai jaket perhatikan!”. Polisi B: “Mengapa harus diperhatikan?”. Polisi A: “sekarang musim panas, mengapa pakai jeket yang tebal?” Polisi B: “ baik, ayo kita ikuti” Polisi A: “ selamat siang pak!, apakah ini rumah anda? Berjaket : “ Betul pak polisi, apakah aku melakukan kesalahan?” Polisi B: “ Tolong jaketnya dibuka pak!” Berjaket: “ baik pak” Polisi A: “ apakah anda memiliki izin kepemilikan senjata” Berjaket: “Oh tentu pak, kalau yang ini saya punya pak. Ini dia surat izinnya”

Kalimat “Kalau yang ini saya punya pak!” menjadi petunjuk bagi polisi untuk mengambil kesimpulan bahwa masih ada senjata yang lain. Ternyata pria berjaket tersebut menyimpan banyak senjata yang tidak memiliki izin. Kekritisan polisi mampu mengetahui adanya senjata yang tersimpan, dimana sewaktu-waktu dapat disalahgunakan oleh pria berjaket tersebut atau orang lain untuk kejahatan. Bagaimana menimbulkan kritis? Pada mulanya adalah ketertarikan atau kesenangan. Semua orang akan senang belajar apa bila mudah dimengerti. Ketertarikan akan menimbulkan keinginan yang lebih. Minta penjelasan yang lebih. Dengan kata lain siswa yang sudah merasa tertarik, akan mengajukan pertanyaan, baik yang menuntut penjelasan, perbaikan, maupun menyatakan ketidaksetujuan. Ada juga dengan kesengajaan membuat kesalahan dengan harapan ada siswa/orang yang mengajukan pertanyaan atau kritik. Sejatinya, kritik datang ketika terjadi kesalahan yang tidak disengaja. Kita menjelaskan dengan kecepatan tinggi, dengan harapan ada siswa yang protes. Kita menulis dengan tidak jelas, dengan harapan ada siswa yang protes, hanya sekedar memancing kehadiran kritik.

Contoh kasus ketujuh. Dalam ulangan umum suatu sekolah didapat soal matematika bentuk pilihan ganda sebagai berikut: Himpunan Penyelesaian dari adalah…. a){x/x<-2}, b) {x/x>-2}, c){x/x<-6} d){x/x<-12} e) {x/x<12}. Dari kelima alternative jawaban ini tidak satupun jawaban yang benar. Dengan kata lain ada kesalahan soal pada alternative jawaban. Lebih dari setengah siswa memilih alternative a. sebagian lagi berharap pada “bonus”. Hanya ada satu siswa yang memilih a) dan membenarkan jawabannya menjadi {x/x ≤2}. Itulah jawaban yang paling tepat.

Terkadang ketertarikan atau kesenangan siswa tidak muncul, bahkan muncul sikap yang antagonis. Disinilah kita menerapkan paksaan. Paksaan yang dimaksud adalah eksekusi aturan dengan tegas. Mulai dari aturan yang disepakati bersama antara guru dan siswa, aturan yang disepakati bersama di kelas hingga pada aturan sekolah.

Pertanyaan kedua adalah bagaimana memelihara kritis? Terkadang sikap kritis hilang hanya karena kita kurang bijaksana menanggabil pertanyaan atau kritikan siswa. Tanpa memperdulikan apakah benar atau salah, semestinya harus ditanggabi dengan bijaksana. Tidak langsung memotong atau mematikan pertanyaan. Tidak memarahi apabila pertanyaan itu benar-benar jauh dari harapan. Tidak melecehkan pertanyaan siswa apalagi membuat malu dihadapan siswa yang lain. Semestinya harus memberikan pujian atau terimakasih atas kritikan atau pertanyaan. Memang pekerjaan yang susah dilaksanakan. Karena emosi datang dengan tiba-tiba. Ucapan datang tanpa sengaja, penyesalan dan kesadaran datang terlambat.

Pertanyaan ketiga adalah bagaimana mengendalikan kritis? Di satu sisi, kita harus mampu membangkitkan kritis siswa. Di sisi lain, siswa yang terlalu kritis juga dapat menghambat kelangsungan belajar mengajar. Terkadang kritis seperti api atau air. Api atau air dalam jumlah sedikit atau secukupnya akan berguna bagi kehidupan. Air untuk minum, mandi, mencuci dan lain-lain. Air yang terlalu banyak (tidak terkendali) akan menghancurkan kehidupan. Air mampu membawa lumpur, mengakibatkan longsor, menenggelamkan rumah bahkan mampu menyapu sebuah kota seperti terjadi di Aceh yang kita kenal dengan Tsunami Aceh pada 26 Desember 2006.

Apabila kesempatan diberikan kepada siswa, mereka akan cenderung untuk menggiring kesempatan tersebut kedalam suasana jenaka dan akhirnya guru kehilangan wibawa. Disinilah diperlukan tindakan tegas dari seorang guru tanpa menimbulkan ketakutan. Inti pengendalian ada pada guru dengan memegang teguh prinsip demokrasi pendidikan.

Jadi agar sikap kritis berubah menjadi karakter, maka diperlukan 3 hal sebagaimana diuraikan diatas. Pertama menimbulkan kritis. Kedua memelihara kritis. Dan ketiga dengan mengendalikan kritis sehingga bermanfaat pada diri siswa. Jangan kritis dibawa kepada hal yang negatif.

Karakter dasar ketiga adalah deskriptif. Pikiran dimulai dengan logika. Ketidak sesuaian dengan logika, atau kenaehan dengan logika, atau ketidak mengertian menghasilkan kritik. Orangnya adalah kritis. Sikapnya kritis. Kritis lebih bermanfaat apabila dibarengi dengan deskriptif. Desktiptif berupaya mencari penjelasan tentang keanehan tersebut.

Contoh Kasus kedelapan. Di ruang BP/BK SMKN 43 Jakarta dipajang beberapa grafik. Saya tertarik dengan dua buah grafik. Judul grafik adalah “Rekapitulasi Permasalahan Siswa Berdasarkan Hasil Konseling SMKN 43 Jakarta”. Grafik tersebut merupakan rekapan setiap tiga bulan sekali. Setiap grafik ada 15 variabel. Pada grafik pertama, ketidakhadiran siswa menempati masalah nomor urut kedua setelah sosial media. Tetapi pada grafik kedua, ketidakhadiran berada pada nomor 15. Artinya semua siswa hadir selama 3 bulan.

Kalau dilihat dari tampilan, grafik tersebut cukup bagus. Tetapi logika berkata, kok bisa tiba-tiba seperti itu. Apa mungkin dalam 3 bulan semua siswa dalam satu sekolah hadir? Pertanyaan itu saya tujukan kepada guru BP/BK? Dia menjawab:”Bisa saja pak.”. Kemudian saya lanjutkan pertanyaanya:”Perlakuan apa yang ibu lakukan?”. Ternyata sang guru tersebut tidak mampu menjelaskan dengan baik.

Dari contoh kasus ini kita dapat lihat bahwa sang guru tersebut tidak memiliki karakter kritis. Seandainya kedua grafik tersebut dikritisi, maka dia akan berusaha mencari jawabannya. Apakah data yang salah? Apakah ada kebijkan yang radikal yang dilakukan secara total oleh semua guru di SMKN 43?

Oleh karena itu, karakter deskriptif selalu dimulai dari kritis. Sementara kritis didasari pada logika. Mempertajam logika, berarti mempertajam kritis dan deskriptif.

Karakter dasar keempat adalah terampil. Terampil artinya cakap dalam melakukan sesuatu. Ukuran terampil adalah tepat dan cepat. Tepat artinya mampu mengerjakan dengan benar. Cepat artinya mampu mengerjakan dengan waktu sesingkat atau kurang dari waktu yang ditentukan. Inti dari terampil hanya 2 kata, yaitu tepat dan cepat. Supaya mampu mengerjakan dengan benar, diperlukan pengetahuan. Pengetahuan (teori) merupakan alat ukur kebenaran. Seseorang dikatakan terampil mengetik apabila mampu mengetik 240 epm (entakan per menit). Teorinya adalah siswa mampu menguasai tugas tiap jari, yang disebut dengan “Sistem 10 Jari”. Jari kelingking kiri bertugas mengetik huruf a, q, z, angka 1, tombol Shift, Tab dan CapsLock. Demikian seterusnya sehingga semua tombol dalam papan tuts (keyboard) terbagi habis oleh 10 jari tangan. Teori Sistem 10 Jari, tidak keharusan, akan tetapi sudah diakui umum bahwa system tersebut yang tercepat. Pengetahuan (teori) yang paling penting adalah tentang materi yang diketik. Misalnya siswa tersebut ingin mengetik surat pembelian barang. Siswa harus tahu bentuk surat yang digunakan dan juga menggunakan kata/kalimat yang baik sehingga maksud dari surat tersebut tercapai.

Inti terampil yang kedua adalah cepat. Agar mampu mengetik dengan cepat, harus membiasakan semua jari mengetik sesuai dengan fungsi masing-masing. Pertama, akan susah. Tetapi lama-lama akan terbiasa. Kalau sudah biasa, banyak orang mengetik tanpa melihat keyboard. Inti dari kata cepat adalah “terbiasa”. Suatu pekerjaan bila pertama sekali dikerjakan akan susah. Diperlukan lebih besar energy. Ibarat naik sepeda, pertama susah, memerlukan konsentrasi penuh, mata focus, fikiran focus, jalanan kosong dan ada pendamping. Setelah terbiasa, bisa naik sepeda sambil bernyanyi, melaju di jalan yang ramai dan sambil membonceng kekasih. Orang ekonomi menyebut kondisi seperti ini dengan barriers to entry. Susah memasuki pasar untuk pertama sekali.

Dengan demikian dapat kita simpulkan bahwa keterampilan dibangun dari kebiasaan. Dalam pelajaran, kebiasaan kita terjemahkan dengan latihan. Semakin banyak latihan, maka semakin terampil. Pertanyaanya adalah latihan yang seperti apa yang mampu meningkatkan keterampilan?

Pertama, kita menyusun latihan yang homogen. Homogen artinya, membuat beberapa soal yang sama atau memiliki indicator soal yang sama. Latihan ini bertujuan untuk memantapkan pemahaman siswa terhadap satu konsep. Sebetulnya sama saja dengan mengulang. Akan tetapi bila mengulang untuk mengerjakan yang sama pasti menimbulkan kebosanan. Oleh karena itu diperlukan variasi. Suatu Kompetensi di bangun oleh beberapa konsep. Artinya kompetensi tersebut dibangun oleh beberapa Latihan yang homogen.

Kedua, kita mengulang atau mengaitkan pengetahuan/kompetensi sebelumnya atau kompetensi lain (mata pelajaran lain) ke dalam pengetahuan/kompetensi yang sedang dipelajari. Hal ini bertujuan untuk menimbulkan kesan kepada siswa, bahwa kompetensi sebelumnya atau Mata Pelajaran lain yang sudah dipelajari berguna, dan sekaligus membentuk pengertian yang komprehensif.

Ketiga, melakukan pemodelan. Pemodelan yang dimaksud adalah bentuk konversi dari kalimat verbal kedalam kalimat matematika. Tentu saja bertujuan untuk meringkas/menyederhanakan sehingga mudah diselesaikan. Disinilah kita dituntut untuk menyusun soal yang membutuhkan pemodelan.

Contoh soal: Pak Ahmad menjual 3 buah roti dan 5 mangkok Mie Ayam dengan harga Rp 81.000. Bu Ahmad menjual 2 buah roti dan 4 mangkok Mie Ayam dengan harga Rp 62.000. Berapakah harga sebuah roti dan harga semangkok Mie Ayam? Penyelesaian: Pemodelan yang kita lakukan adalah dengan pemisalan dan system persamaan. Misalkan r = harga sebuah roti, m = harga semangkok Mie Ayam. M dan r A. Maka kalimat diatas berubah menjadi: 3r + 5m = Rp 81.000; 2r + 4m = Rp 62.000.

Pada kompetensi sebelumnya/ kompetensi lain sudah dipelajari tentang Himpunan Bilangan. Variabel r dan m merupakan anggota bilangan Asli. Pada umumnya dalam pemodelan menggunakan bilangan Real (R). Tetapi faktanya harga sebuah roti merupakan Bilangan Asli. Penjualan Pak Ahmad dapat ditulis dengan 3r +5m = Rp 81.000, sementara penjualan ibu dapat di tulis dengan 2r + 4m = Rp62.000. Kedua persamaan dapat diselesaikan dengan metode substitusi, grafik, matriks atau eliminasi.

Karakter dasar kelima adalah mandiri. Seseorang mampu mandiri apabila memiliki cukup kemampuan atau kompetensi. Karakter dasar keenam adalah relijius. Relijius tentu saja berhubungan dengan agama masing-masing. Ketika logika kita sudah tidak dapat membantu, kita tidak dapat menjelaskan apa-apa, kita tidak dapat mandiri atau selalu bergantung pada orang lain. Selalu menyusahkan orang lain. Tidak mampu melakukan apa-apa. Disinilah kita mencari kekuatan yang lain. Kita butuh mujizat. Alamatnya adalah Tuhan Karakter dasar ketujuh adalah prediktif. Prediktif artinya mampu memperkirakan tendensi dari serangkain data. Atau mampu mengambil kesimpulan dari beberapa pernyataan. Karakter predikatif dapat dibangun dengan menyusun bahan ajar yang dimulai dari hal khusu menuju hal umum atau induktif.

Karakter Lanjutan.

Sebagaimana disebutkan di atas, bahwa karakter dasar mutlak diperlukan oleh setiap individu. Disamping dia sebagai individu, manusia itu butuh interaksi dengan orang lain. Dia membandingkan dirinya dengan orang lain. Apakah saya sama dengan orang lain. Tentu saja lebih pintar, lebih hebat adalah lebih terhormat. Lebih mendapat kesempatan. Disinilah muncul sikap kompetitif.

Sikap kompetitif harus dibangun dalam setiap pembelajaran ataupun dalam manajemen. Siswa yang lebih pintar mendapat nilai yang lebih baik. Dengan kata lain, setiap kelebihan orang semestinya mendapatkan hadiah, baik dalam bentuk nilai, uang, barang, jabatan ataupun sekedar pujian. Kita tinggal mengatur bagaimana bentuk kompetisi sehingga lebih adil, jujur dan transparan.

Karakter lanjutan kedua adalah demokratis. Demokratis diperlukan karena ada dua orang atau lebih. Manusia adalah mahkluk individu. Setiap manusia memiliki keinginan yang tidak pasti sama. Setiap orang punya pendapat mengutarakan keinginannya masing-masing. Hal yang perlu kita perhatikan adalah bagaimana menghargai pendapat dan hak orang lain sehingga didapat solusi. Karakter demokrasi dapat dibangun dalam setiap pembelajaran dan manajemen.

Karakter lanjutan ketiga adalah kerjasama. Kerjasama tercipta karena memiliki asset/proyek/tujuan yang sama. Semua bagian proyek itu harus dikerjakan. Setiap orang harus mendapat bagian dan peranan. Itulah aspek yang diperhatikan dalam membangun karakter kerjasama. Kerjasama memelihara kelas dengan membentuk Daftar Piket. Kerjasama dalam mengerjakan Tugas.

Setiap orang mengerjakan tugasnya masing-masing. Bila tugas yang dibebankan dikerjakan dengan baik, kita sebut dengan tanggungjawab. Bila ada orang yang tidak mengerjakan tugasnya, maka harus ada orang lain yang berani dan mau menanggung beban tersebut. Itulah yang kita sebut dengan tanggujawab sosial. Tanggub jawab sosial merupakan karakter lanjutan yang keempat. Orang yang mau menanggung beban orang lain dalam rangka kepemilikan bersama, itulah yang kita sebut dengan pemimpin. Kepemimpinan perlu dibentuk menjadi karakter. Disamping menanggung beban orang lain, juga menyadarkan akan kepemilikan bersama, mengingatkan akan tugas masing-masing, mengingatkan akan komitmen masing-masing dan membina kebersamaan.

Karakter lanjutan terakhir adalah nasionalis. Nasionalis dibentuk dengan pengakuan satu bangsa, yang berarti saudara. Saudara memiliki ibu yang sama, yaitu ibu pertiwi. Nasionalis dibangun dengan bahasa ibu, yaitu Bahasa Indonesia. Menggunakan Bahasa Indonesia yang baik dan Benar. Nasionalis dibangun dengan berbagai kegiatan di sekolah seperti Upacara Bendera setiap hari senin. Upacara Bendera dan perayaan Hari Besar Nasional. Pemasangan gambar Pahlawan nasional, Presiden dan Wakil Presiden, Lambang Negara dalam setiap ruangan kelas dan kantor. Serta kegiatan-kegiatan lain yang bertujuan untuk meningkatkan nasionalisme siswa.

KESIMPULAN

Kita semua hidup dalam suatu sistem. Setiap orang memiliki peran masing-masing dalam sistem tersebut. Selaku Kepala SMK, berperan sebagai pemimpin yang berkarakter. Karakter harus dibentuk kepada semua orang, mulai dari Kepala sekolah, guru, staf tata usaha dan teritimewa siswa.

Karakter dibangun dari proses belajar. Proses belajar menghasilkan sikap. Pematangan sikap menghasilkan karakter. Disinilah peran guru untuk mendesign pembelajaran dan melaksanakan pembelajaran tersebut dengan memperhatikan 3 hal pokok. Melalui pembelajaran guru mampu menimbulkan sikap. Sikap tersebut harus dipelihara sepanjang waktu. Dan hal ketiga adalah sikap dikendalikan.

Tugas Kepala Sekolah adalah memastikan bahwa ketiga hal pokok diatas tercipta dalam pembelajaran. Disamping pembelajaran, juga diterapkan dalam manajemen.
Read More..

TUMPUL ke ATAS TAJAM ke BAWAH



Peranan Media

Tidak dapat kita pungkiri bahwa media akhir-akhir ini menyedot waktu dan perhatian banyak orang. Mereka menyuguhkan berbagai macam informasi dan hiburan. Secara tidak sadar media tersebut telah melakukan proses belajar. Media tersebut telah menjadi lembaga pendidikan informal. Lembaga pendidikan yang proses pelaksanaanya tidak diatur oleh undang-undang Sistem Penidikan Nasional. Lembaga pendidikan dengan berbagai latarbelakang murid, siswa dan mahasiswa serta siapa saja. Setiap orang membentuk kurikulum masing-masing, membentuk jurusan masing-masing, menyusun program masing-masing sesuai waktu dan kebutuhan. Media menyajikan berbagai materi pelajaran. Semua orang dapat menjadi guru atau dosen sekalipun belum disertifikasi. Itulah sebabnya kami memberikan materi hukum pada media, sekalipun kami tidak ada latarbelakang hukum. Pengetahuan hukum yang kami dapat adalah melalui pendidikan informal dan pengembangannya dengan perenungan. Dengan harapan ada manfaatnya untuk public maupun untuk penulis sendiri.

Manusia sebagai Mahkluk individu dan Sosial

Hukum tidak berlaku untuk diri sendiri. Hukum berlaku apabila ada dua orang atau lebih manusia. yang saling berinteraksi. Sesuai dengan kodratnya bahwa manusia adalah mahluk social yang senantiasa memerlukan orang lain dalam rangka memenuhi semua kebutuhannya. Tak seorangpun manusia di permukaan bumi ini mampu memenuhi kebutuhannya sendiri. Sekalipun ada manusia seperti itu pastilah manusia yang jauh dari bahagia.

Dalam interaksi tersebut pasti akan terjadi berbagai macam permasalahan ataupun perselisihan. Permasalahan bisnis, permasalahan keadilan, persaingan, harga diri dan lain sebagainya. Hal ini sesuai dengan hukum yang menyatakan bahwa selain mahkluk social, manusia juga sebagai mahkluk individu. Tidak ada manusia yang sama 100%. Secara phisik boleh sama, tetapi secara rohani pasti berbeda. Berbeda dengan selera, berbeda dengan daya pikir, berbeda dengan keinginan, berbeda dengan sifat, berbeda dengan kekuatan, dan perbedaan yang lain.

Yang kuat dapat memperbudak yang lemah. Yang pintar dapat memperdaya yang bodoh. Yang kaya dapat membeli apa saja yang dia inginkan. Mengapa terjadi demikan? Tentu jawabannya karena manusia tidak sama, manusia mahkluk individu. Kalau sama, tidak ada yang kuat, tidak ada yang lemah. Tidak ada yang kaya dan tidak ada yang miskin. Tidak ada yang pintar dan tidak ada yang bodoh. Apakah ada perbudakan? Apakah orang pintar memperdaya orang bodoh? Apakah orang kaya membeli semua yang diinginkannya? Jawabannya ya atau tidak. Jawabannya “tidak” bila ada hukum dan hukum tersebut ditegakkan. Jawabannya “ya” bila tidak ada hukum atau ada hukum tetapi tidak ditegakkan.

Hukum berfungsi untuk menciptakan ketertiban dan perdamaian masyarakat. Hukum membatasi penggunaan kekuatan seseorang. Hukum membatasi keinginan seseorang. Hukum membatasi kepemilikan seseorang. Hukum melindungi orang lemah. Hukum melindungi minoritas. Hukum menjamin keseimbangan hak dan kewajiban. Hukum mengatur antara hak orang/masyarakat yang satu dengan orang/masyarakat yang lain. Setiap orang berhak mendapat perlindungan hukum, sesuai dengan konstitusi kita. Yang menjadi pertanyaan adalah apakah hukum tersebut sudah tepat mampu menciptakan ketertiban dan perdamaian? Apakah hukum itu sebagai alat pemicu kreatifitas masyarakat? Apakah hukum itu sudah berperan sebagai alat pemicu peningkatan ekonomi masyarakat? apakah hukum itu sudah menciptakan keadilan? Apakah hukum itu sudah menjamin hak setiap orang? Atau apakah hukum itu malah membuat orang pesimis? Apakah hukum itu memicu orang makin belajar? Apakah para penegak hukum sudah bekerja dengan adil, tegas dan berani? Begitu banyak pertanyaan yang dapat kita ajukan tentang hukum, penegak hukum dan pengadilan.



Hukum Tumpul ke atas tapi Tajam ke bawah

Hukum tumpul ke atas tetapi tajam ke bawah. Inilah ungkapan kekecewaan masyarakat terhadap pelaksanaan hukum di negeri ini. Ke atas maksudnya adalah mereka golongan atas seperti Presiden, menteri, gubernur, bupati/walikota, anggota DPR, pejabat tinggi Negara, pejabat tinggi pemerintahan, orang kaya dan lain-lain. Ke bawah maksudnya adalah mereka orang jelata atau orang miskin, orang lemah. Tumpul artinya susah menyelidiki, menyidik, mengadili dan susah memutuskan. Sementara tajam adalah mudah/cepat menyelidiki, menyidik, mengadili dan mudah/cepat memutuskan.

Ungkapan “hokum tumpul ke atas dan tajam ke bawah” tidak mungkin muncul begitu saja, akan tetapi karena frekuensi kejadian yang besar. Sering terjadi, maka masyarakat mengungkapkan itu. Lagi pula secara logika adalah tepat. Proses pengadilan atau hokum selalu di mulai dari pengajuan pertanyaan. Jawaban yang bersifat professional seringkali membutuhkan jauh lebih banyak informasi, namun watak manusiawi mendorong kita untuk mencari jawaban tersebut secepatnya. (Craig A. Methler, 2011). Mari kita lihat jawaban Bush 43, ketika kampanye presiden USA ke 43. Apakah anda dulu mengkonsumsi narkoba dan miras? Bush selalu menghindari pertanyaan ini, hingga berbulan-bulan. Akhirnya suatu ketika dia harus menjawab, “ketika saya muda, ada perbuatan saya yang tidak bertanggungjawab”. Demikian juga presiden USA ke 42 Bill Clinton tidak pernah menjawab secara tegas bahwa dia selingkuh dengan Monica Lewinski.

Dari faktor menjawab pertanyaan, orang Atas menjawab dengan berbelit-belit karena pengetahuannya yang luas, sementara orang Bawah menjawab dengan singkat. Factor yang lain juga sangat dahsyat seperti uang, kekuasaan, keamanan, informasi dan lain-lain.

Sesungguhnya penggunaan ungkapan “Hukum tumpul ke atas tetapi tajam ke bawah” tidak tepat. Hukum itu tidak pernah tumpul baik ke bawah maupun keatas. Hukum juga tidak pernah tajam baik ke bawah maupun ke atas. Sebelum orang atas melakukan kejahatan, hukumnya sudah ada. Sebelum orang bawah melakukan kejahatan, hukumnya juga sudah ada. Hukum untuk orang atas dan orang bawah sama saja, yang berbeda adalah tindakannya (kejahatannya). Seandainya hukum itu tajam ke bawah dan tumpul ke atas, maka segeralah kita merubah hukumnya. Hukum itu sudah ada tertulis, tersusun dalam kalimat Bahasa Indonesia yang baik dan benar. Kita gantilah kalimatnya menjadi kalimat yang benar, tidak tajam ke bawah dan juga tidak tumpul ke atas. Penggunaan kata hukum sebaiknya diganti dengan pengadilan. Hukum sudah terang dan jelas tertulis. Siapa saja boleh membaca dan mempelajarinya. Tetapi hasil dari pengadilan, tak seorangpun yang tahu termasuk hakim itu sendiri sebelum semua tahapan pengadilan selesai. Barangkali proses pengadilan inilah yang ada kemungkinan untuk dipermainkan menjadi tajam atau tumpul. Sangat tergantung dari mereka yang terlibat dalam pengadilan tersebut. Akhir-akhir ini ramai dibicarakan pencurian sandal. Banyak orang menyalahkan aparat penegak hukum karena menghukum orang tersebut dengan “bersalah”. Berbagai bentuk protes dan sindiran dilakukan masyarakat. Pencuri (masih dibawah umur menurut hukum) tersebut mengadu ke komnas HAM komisi anak, kemudian Komnas HAM melakukan perbicangan dan menghadiahi sepasang sandal persis sama (merek sama) dengan sandal yang dicuri anak tersebut. Ada lembaga masyarakat yang mengumpulkan sandal dan mengirimkannya ke Kapolri. Dan berbagai macam reaksi masyarakat.

Sesungguhnya siapakah yang kita bela? Apakah kita membela hukum? Apakah hukum perlu ditegakkan? Sang anak benar bersalah mencuri sandal, dan hakim memutuskan bersalah. Itu artinya hukum ditegakkan. Seandainya sang anak benar bersalah mencuri, tetapi pengadilan memutuskan tidak bersalah, itu artinya hukum tidak ditegakkan. Masalahnya dimana sehingga masyarakat protes? Orang yang kehilangan sandal mengadukan pencurinya ke yang berwajib, itu juga tindakan yang dibenarkan oleh hukum. Yang tidak benar adalah bila ada penghakiman sendiri. Polisi menerima aduan dan memprosesnya sampai kekejaksaan. Itu juga benar menurut hukum. Kejaksaan membawanya ke pengadilan. Itu juga benar menurut hukum. Pengadilan memutuskan bersalah. Itu Juga benar menurut hukum. Jadi sekali lagi masalahnya dimana? Apakah karena kasus besar seperti Bank Century belum tuntas? Kalau ya, apa hubungannya? Kasus Bank Century dengan Kasus pencurian sandal adalah kejadian saling lepas. Tidak ada (sangat jauh) kaitan apalagi hubungannya. Barangkali masalahnya terletak pada nilai barang yang dicuri. Sepasang sandal kira-kira harganya Rp 100.000, dan lebih murah lagi kalau sandal itu sandal bekas. Hukum tidak mencatat nilai yang dicuri. Bila kita tilik dari sudut ekonomi, sungguh sangat merugikan Negara. Coba kita bayangkan bila pengadilan mengurus pencuri sepasang sandal yang harganya kira-kira Rp100.000. Gedung pengadilan itu dibangun dengan biaya ratusan juta rupiah atau milyaran rupiah. Gaji hakim, panitera, jaksa itu jutaan rupiah setiap bulan. Biaya operasional pengadilan tersebut seperti listrik, air telepon dan lain-lain juga jutaan rupiah. Biaya pengacara, biaya transport dan biaya yang lain sungguh-sungguh tidak sebanding dengan nilai Rp 100.000 yang diperjuangkan dan dampak jera yang ditimbulkan terhadap pelaku dan masyarakat lainnnya. Belum lagi kemasan media massa yang menjual berita tersebut sehingga mengundang perhatian banyak orang.

Apa bandingan hukum itu?

Bisa kita bayangkan apa yang terjadi bila setiap pengadilan di negeri ini mengalami hal yang sama seperti pencurian sandal, kakao, semangka dan pencurian tetek bengek lainnya. Pasti tidak ada waktu untuk mengurus masalah besar sebesar kasus Edy Tansil (senilai 1,3 Triliun yang sudah terlupakan), Kasus Century 6,7 Trilliun dan kasus besar lainnya yang melibatkan banyak orang. Hukum yang dibuat oleh manusia harus berbeda dengan hukum yang dibuat oleh Tuhan. Menurut kitab suci Nasrani (maaf, hanya contoh), mencuri sandal dengan mencuri sapi sama saja. Mencuri sandal sama dengan berdosa. Mencuri sapi juga sama berdosa. Karena Tuhan melihat kesetiaan umatnya, bukan nilai barang yang dicurinya. Tuhan juga yang mengadilinya. Administrasi Tuhan tak bisa dibandingkan dengan administrasi pengadilan dinegeri ini. Setiap kasus perbuatan manusia, Tuhan tidak pernah luput mencatat dan mengadilinya. Tuhan tak pernah kekurangan waktu untuk mengadilinya. Berbeda dengan pengadilan kita, kalau pengadilan lebih banyak mengadili pencurian sandal, semangka, kakao dan tetek bengek lainnya, pasti tidak ada waktu untuk mengurusi kasus besar yang menyangkut hajat hidup orang banyak.

Tentu saja hukum Tuhan (Kitab Suci) tidak bisa diadopsi langsung sebagai hukum Negara, akan tetapi hanya sebagai bahan perbandingan. Sebagaimana diutarakan diatas, dosa mencuri sandal sama dengan dosa pencuri sapi. Bagi manusia itu tidak adil. Tidak bisa diterapkan, akan tetapi akan mendapat protes keras, paling tidak berisik “hukum tumpul ke atas, tetapi tajam ke bawah”. Bagi Tuhan itu adil. Sekali lagi Tuhan melihat dari sudut kesetiaanya, bukan mengurus uang atau barang yang dinilai dengan uang. Sebaliknya manusia menciptakan hukum untuk menciptakan keasetiaan/kepatuhan orang terhadap hukum dan juga yang terpenting adalah hukuman sesuai dengan nilai barang/jabatan yang disalahgunakan atau sesuai dengan perbuatannya.

Hukum yang lain yang menjadi acuan adalah hukum Alam. Hukum alam juga berasal dari Tuhan. Hukum itu sudah ada, akan tetapi manusia secara perlahan-lahan menemukannya seiring dengan perkembangan peradaban manusia. Kita misalkan dengan hukum yang berlaku pada air, “air mengalir dari tempat tinggi ke tempat yang rendah”. Dimanapun di dunia ini air mengalir seperti itu. Manusia dapat memanfaatkan hukum tersebut sebagai pengangkutan, pembangkit Listrik dan lain-lain. Hukum tersebut juga berdampak negative bila manusia itu lalai. Air bisa menghanyutkan, membuat longsor, menenggelamkan (banjir) seperti terjadi di berbagai daerah di negeri ini. Hukum air adalah kekal. Sudah ada dari jaman dahulu, sekarang dan sampai kapanpun tetap begitu. Manusia tinggal meningkatkan ilmu pengetahuan dan penerapannya untuk memanfaatkan sifat/hukum air tersebut dan menghindari akibatnya.

Demikianlah sempurnanya hukum alam yang diciptakan Tuhan itu. Itulah acuan hukum yang akan dibuat oleh manusia. Hukum menuju kesempurnaan. Manusia menyesuaikan diri dengan hukum. Manusia menyesuaikan dengan hokum air tersebut. Manusia menciptakan perahu/sampan, kapal layar, kapal mesin untuk pengangkutan, manusia menciptakan generator yang digerakkan oleh air untuk menghasilkan energy listrik, dan lain-lain bentuk adaptasi manusia terhadap hokum air tersebut. Bukan sebaliknya hukum menyesuaikan diri dengan manusia. apabila tidak sesuai dengan keinginan, tidak menguntungkan dirinya, maka hokum yang dirubah. Sering gonta-gantinya hokum membuat manusia tidak percaya pada hokum, atau lebih ekstrim lagi manusia tidak mau tahu dengan hokum. Kata pakar hokum, hukum menjadi mati, hanya text, hanya tulisan dalam bentuk kalimat. Semestinya hokum itu harus hidup. Artinya masyarakat peduli dan mematuhinya dengan sesadar-sadarnya. Oleh karena itu hokum harus memiliki daya jangkau yang cukup jauh kedepan. Jangan hukum berlaku hanya untuk 1 tahun, 2 tahun atau hanya 5 tahun. Sekalipun harus diubah, sebaiknya tidak fundamental, akan tetapi hanya revisi.

Oleh karena itu hukum harus memberi kewenangan kepada komunitas seperti lingkungan, masyarakat adat, perangkat desa dan lain-lain. Hukum harus tertulis secara jelas, apabila terjadi pencurian di bawah Rp 100.000,00 (misal), maka kasusnya tidak perlu sampai kepada pengadilan. Sebaiknya selesai pada tingkat komunitas masyarakat, atau sampai pada tingkat kepolisian untuk mengawal perdamaian. Sekalipun harus sampai pada tingkat pengadilan, harus memiliki alasan yang kuat, misalnya sering melakukan kejadian yang sama. Sepuluh tahun yang akan datang, uang Rp 100.000,00 tidak mampu membeli sandal. Oleh karena itu hukum tersebut direvisi dengan mengganti angka tersebut menjadi angka yang rational, tanpa mengubah substansinya. Hayo… kepada bapak ibu yang terhormat pembuat hokum di negeri ini, segeralah buat/revisilah hukum yang menciptakan keadilan, kedamaian, dan menimbulkan kesejahteraan serta memicu kecerdasan masyarakat.
Read More..

Minggu, 23 Juli 2017

Lulusan SMK versus SMA

Jakarta - Tingkat pengangguran terbuka (TPT) di Indonesia pada Februari 2017 mengalami penurunan menjadi 5,33% dari Februari 2016 yang sebesar 5,50%. Dari 131,55 juta orang yang masuk sebagai angkatan kerja, terdapat 124,54 juta orang yang bekerja, dan sisanya 7,01 juta orang dipastikan pengangguran..

Dari jumlah tersebut, pengangguran yang berasal dari jenjang Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) menduduki peringkat teratas sebesar 9,27% yang disusul oleh pengangguran lulusan Sekolah Menengah Atas (SMA) sebesar 7,03%. Sedangkan, dari jenjang Sekolah Menengah Pertama (SMP) sebesar 5,36%, Diploma III (D3) sebesar 6,35%, dan universitas 4,98%..

Kontribusi lulusan SMK terhadap jumlah pengangguran di Indonesia salah satunya disebabkan oleh lebih rendahnya keahlian khusus atau soft skill lulusan SMK dibandingkan lulusan SMA. Namun, kasus ini tidak ditemui di SMK yang kualitas pendidikannya sudah teruji..

"Ternyata kalau menurut kajian Bank Dunia, kemampuan soft skill anak-anak SMK itu rata-rata nasionalnya di bawah lulusan SMA, tapi ada juga SMK yang bagus employeability-nya tinggi," jelas Deputi Menteri PPN/Kepala Bappenas Bidang Pembangunan Manusia, Masyarakat, dan Kebudayaan, Subandi di Hotel Pullman, Jakarta Pusat, Senin (22/5/2017)..

Kemampuan soft skill dapat dilihat dari cara individu untuk memahami kondisi psikologisnya sendiri, mengatur ucapan, pikiran, dan sikap sesuai dengan lingkungan sekitar.

"Jadi misalnya kemampuan bahasa manual, jadi kalau menurut kajian dari hasil ujian nasional, rata-rata nilai matematika, sains, sama kemampuan membaca, itu anak SMA lebih tinggi dibandingkan SMK. Ini yang membentuk soft skill," ujar Subandi.

Kalau kita analisis pernyataan bapak Subandi di atas yang ditulis pada detik.com, dapat kita simpulkan atau masyarakat seakan-akan menyimpulkan 3 hal yaitu: 1. SMK penyumbang pengangguran terbesar 2. Lulusan SMK lebih buruk dari lulusan SMA, SMP, DIII dan Sarjana 3. Proses Belajar di SMK tidak lebih baik dibanding di SMA

Pertama mari kita lihat persentase atau perbandingan. Kontribusi SMK 9,27%. Dibandingkan terhadap data mana? Kalau dibandingkan dengan Angka pengangguran yaitu 7,01 juta maka ada 0,743 juta penganggur berasal dari SMK, ada 0,563 juta pengangnggur berasal dari lulusan SMA, ada 0,429 juta lulusan SMP, ada 0,509 lulusan DIII dan ada ada 0,400 lulusan perguruan tinggi sementara sisanya 67,01% atau sejumlah 3,237 juta tidak tahu berasal dari mana?

Mari kita bandingkan dengan angka Angkatan Kerja yaitu 131,55 juta orang, maka didapat angka pengangguran yang berasal dari SMK sebesar 12,19 juta orang, yang berasal dari SMA 9,25 juta orang, berasal dari SMP 7,05 juta orang, yang berasal dari DIII 8,35juta dan berasal dari Perguruan Tinggi sebesar 6,55 juta orang. Sementara jumlah pengangguran Cuma 7,01 juta menurut data diatas. Artinya data ini tidak layak dipercaya, apalagi kalau dibandingkan dengan data Litbang Kompas seperti gbr diatas. Apakah kesalahan pada pak Subandi, atau detik.com atau saya yang tidak mengerti?

Anggablah persentase itu benar, artinya kita yakini bahwa penyumbang terbesar pengangguran adalah lulusan SMK. Itulah faktanya. Tetapi pertanyaannya, apakah layak dibandingkan? Untuk menjawab pertanyaan ini, harus kita tinjau ulang kepada tujuan utama pendirian SMK dan SMA. SMA didirikan untuk melanjutkan ke Perguruan Tinggi. Sementara SMK bertujuan untuk langsung bekerja.

Disamping itu ada juga lulusan SMA yang bekerja. Apakah itu kegagalan? Jawabannya adalah yes. Sebab turun dari target. Mereka mengambil lowongan yang semestinya di isi oleh lulusan SMK. SMA menang dalam soft skill yang dibangun dari materi yang di UN kan yaitu membaca, sains dan matematika. Artinya itu bukan kompetensi kerja. Perusahaan memperkerjakan orang bukan dari kompetensi kerjanya, akan tetapi dari soft skill. Itu mungkin benar, untuk pekerjaan-pekerjaan tertentu.

Lulusan SMK juga ada yang melanjutkan keperguruan tinggi. Apakah itu kegagalan? Jawabannya tidak, akan tetapi sebaliknya. Kurikulum dan pengajarannya tidak disiapkan untuk kuliah tetapi mereka mampu melakukannya. Seandainya tidak ada lulusan SMA yang bekerja, maka pekerjaan itu sepenuhnya diambil alih oleh lulusan SMK. Artinya persentase pengangguran lulusan SMK menuju nol.

Masalah input. Harus diakui input yang masuk SMA lebih baik dari input yang masuk SMK. Alat ukurnya adalah nilai UN SMP, dan juga status ekonomi orangtua SMA lebih tinggi dibanding status ekonomi orangtua SMK. Sangat mudah melihatnya, misalnya ketika PPDB di SMKN 17 Jakarta dengan SMA Negeri 78 Jakarta yang berdekatan, SMA Negeri 1 Jakarta dengan SMK Negeri 1 Jakarta yang dipisahkan oleh tembok. Di halaman SMA dan jalanan banyak mobil, sementara di halaman SMK banyak motor dan orang.

Semestinya permasalahan yang paling serius adalah angka pengangguran yang berasal dari perguruan tinggi DIII dan S1 sebesar 11,33%. Seungguhnya bisa lebih dari 11,33%, sebab ada dari mereka yang bekerja pada level yang semestinya diisi oleh lulusan SMK. Seandainya semua perusahaan atau lembaga tertib dengan mempekerjakan orang sesuai dengan tingkat pendidikannya maka pengangguran yang berasal dari perguruan tinggi akan semakin membengkak dan pengangguran yang berasal dari lulusan SMK semakin cepat menuju nol.

Jadi dapat saya simpulkan, sesungguhnya yang bermasalah itu adalah SMA dan Perguruan Tinggi. Kalau mereka tidak bermasalah, maka lulusan SMK tidak ada yang menganggur. Peranan penting pemerintah adalah untuk memberikan jaminan semua lembaga bekerja sesuai tujuan utama lembaga tersebut. Kalau toh juga lulusan SMA dan SMK sama-sama bersaing mencari pekerjaan yang sama, sama-sama bersaing memperebutkan Perguruan Tinggi, untuk apa mesti berbeda nama? Lebur saja jadi SMK atau lebur semua jadi SMA.

Kalau tetap mempertahankan ada SMA dan ada SMK, maka sesuai fakta jumlah siswa SMK harus ditambah mendekati perbandingan 5 berbanding 1. Lima siswa SMK dan hanya satu siswa SMA. Faktanya saat ini tahun 2016 jumlah siswa SMK sebesar 4,4 juta orang dan siswa SMA sebesar 4,3 juta orang. Kalau ditinjau dari level kompetensi, lulusan SMK 3 tahun menempati level 2 tingkat kompetensi dari 10 level dan SMK 4 tahun menempati level 3. Sementara lulusan perguruan tinggi menempati level 4 atau lebih.

Tentu saja lulusan SMK tidak berpuas diri bekerja saja. Setelah beberapa tahun bekerja pastilah berfikir untuk meningkatkkan karir. Pastilah ada rasa bosan sebagai pekerja bawahan. Pastilah ingin jabatannya meningkat. Dengan demikian mereka harus mampu beradaptasi, harus mampu mengembangkan diri melalui berbagai keterampilan dan pendidikan termasuk meningkatkan ke jenjang Perguruan Tinggi. Momen inilah yang banyak dimanfaatkan oleh beberapa Perguruan Tinggi dengan membuat program karyawan, atau kelas malam, atau intensiv Sabtu- Minggu.
Read More..

Senin, 19 Mei 2014

Kejahatan Sexual vs Pendidikan

Akhir-akhir ini marak pemberitaan kejahatan sexual terhadap anak-anak baik anak TK, SD, SMP maupun anak remaja. Tidak perlu diuraikan panjang lebar dalam tulisan ini. Misalnya yang terjadi di salah satu Sekolah Internasional di Jakarta Selatan.

Pelakunya adalah orang dewasa. Baik lelaki maupun perempuan. Para pengamat memunculkan bermacam-macam reaksi. Ada yang ngotot mengubah atau menambah kurikulum dengan memasukkan materi sex. Ada yang langsung mengajarkan sex terhadap anak-anak agar mereka dapat menghindar atau menolak. Sekalipun sex yang dimaksud adalah pendidikan, tetaapi tetap juga kurang tepat.

Sesungguhnya kita harus sadar sesadar-sadarnya. Belum waktunya anak kecil diajarkan sex. Sebab mereka sedang belajar dan berlatih. Waktu yang mereka miliki sekarang sedang berlatih menggunakan kaki, tangan dan seluruh anggota tubuh. Kalau anak-anak tidak berlari-lari bagaimana mungkin kaki dan badannya kuat? Kalau tangan tidak dilatih untuk bergerak, bagaimana mungkin tangannya kuat?

Disamping latihan fisik, mereka juga melatih logika berfikirnya. Mulai memahami sifat-sifat benda. Mulai memahami panas itu apa? Dingin itu apa? Air itu apa? Bolehkan bermain di kali? Mereka masih mencoba-coba atau sedang mengetahui ada apa dibalik larangan. Orangtua melarang main di taman. Dia mencoba bermain di taman, eh ternyata kena duri. Dia baru lebh patuh dan taat kepada orangtua. Karena dia tahu akibatnya.

Dengan kata lain usia anak-anak itu adalah usia bermain untuk melatih fungsi alat-alat atau organ tubuh supaya berfungsi maksimal. Sedikit demi sedikit mereka juga diajar tentang bersosialisasi dengan teman, guru maupun orangtua.

Sesungguhnya dalam kasus pelecehan sexual terhadap anak-anak ini tidak layak dibebankan pelajaran sex kepada mereka. Itu artinya mereka mendapat beban dua kali. Pertama sebagai korban sexual. Kedua sebagai korban pelajaran (kalau diajarkan apalagi pakai kurikulum segala). Orang dewasa yang bersalah, mengapa anak-anak yang jadi korban? Kita harus ingat kalau kemunculan kurkulum 2013 dimulai dari besar dan beratnya materi/kurikulum SD. Sekarang kita ingin menambah lagi. Kalau ini terjadi, tidak lama lagi kurikulum SD akan ditambah dengan pendidikan anti korupsi karena korupsi sedang marak. Kemudian ditambah lagi dengan kurikulum kemacetan, karena aktual macet di mana-mana terutama kota besar. Kemudian ditambah lagi dengan kurikulum narkoba, narkoba juga sering diberitakan di televisi. dan kurikulum macam-macam.

Kejahatan sexual (di sekolah) bukanlah masalah kurikulum. Akan tetapi adalah masalah kriminal dan manajemen. Guru BP harus mampu melaksanakan bimbingan konseling dengan baik. dia harus mampu mengeruk sebanyak-banyaknya informasi. Informasi tersebut harus dapat ditafsirkan dan diinterpretasikan. Kelemahan kita adalah kurangnya sikap kritis. Harus peka terhadap rangsangan. Setiap perubahan atau stimulus harus memunculkan sikap. Sikap kritis muncul akibat kita mampu menempatkan segala sesuatunya pada tempat yang wajar atau yang semestinya. apabila kita mampu menempatkan pada logika. Biarlah logika yang mengajarkan kita kebenaran. Biarlah logika yang memberi kita petunjuk arah atau signal yang akan terjadi.

Mudah-mudahan kita semua terhindar dari kejahatan sexual.


Read More..

Kamis, 23 Januari 2014

SODETAN CILIWUNG-CISADANE

Menurut J.J. Rizal, bahwa Sudetan Ciliwung-Cisadane sesungguhnya merupakan salah satu solusi banjir Jabodetabek dari hasil riset JICA pada tahun 1995. Kini wacana tersebut muncul kembali. Sebagian orang mengatakan wacana itu dumunculkan oleh gubernur DKI Jakarta, bersama Gubernur Jawa Barat Ahmat Heryawan serta staf dari Departemen Pekerjaan Umum.

Sebagian masyarakat dan pejabat Kabupaten Tangerang dan Kota Tangerang menolak wacana tersebut. Sebab hingga saat ini kali Cisadane juga kritis. Tetapi pada suatu malam, ketika salah satu Stasiun televisi mewancarai Wakil Gubernur Banten bersama Bupati Tangerang dan Kota Tangerang, mereka memberikan jawaban yang melunak. Mereka setuju sodetan, asal kali Cisadane dikeruk terlebih dahulu. Rano Karno berbicara demikian sambil menunjukkan endapan pasir didekat pintu Pasar Baru kali Cisadane.

Dari perbincangan itu terungkap, bahwa kali Cisadane merupakan tanggungjawab pemerintah pusat. Seandainya itu tanggungjawab Pemda Banten dan Kota Banten, maka anggarannya tidak cukup. Demikian ungkap Wakil Gubernur Banten.

Design sodetan adalah panjang kira-kira 1000 meter dengan lebar 2 meter dan kedalaman 8 meter. Sodetan itu berupa terowongan (deep tunnel) dibawah tanah yang dimulai dari Kelurahan Ranggamekar, Katulampa, Kecamatan Bogor Selatan, Kota Bogor, sampai ke Kelurahan Sukasari, Cisadane, Kecamatan Tangerang, Kota Tangerang, Banten.

Sodetan dapat juga berfungsi sebagai pintu air. Artinya, dapat dibuka dan dapat ditutup. Pertanyaanya adalah kapan dibuka dan kapan ditutup? Dan apa indikatornya? Untuk menjawab pertanyaan ini perlu kita mengetahui Daerah Aliran Sungai (DAS) masing-masing.

Secara administratif DAS Cisadane terletak di Kabupaten Bogor, Kotamadya Bogor, Kabupaten Tangerang dan Kotamadya Tangerang dengan luasan areal DAS Cisadane sebesar 151.808 ha. DAS Cisadane terbagi atas Sub-DAS yaitu Sub-DAS Cisadane Hulu, Ciapus, Ciampea, Cihideung, Cianten, Cikaniki, Cisadane Tengah dan Cisadane Hilir.

Sumber air DAS Cisadane berasal dari Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP) dan Taman Nasional Halimun Salak (TNGHS). Aliran sungai Cisadane mengalir sejauh 1.047 Km dari kawasan hulu hingga hilir. Aliran sungai ini banyak dimanfaatkan oleh masyarakat yang bermukim disekitar bantaran untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dengan pola pemanfaatan yang beragam. Berdasarkan topografinya, bagian hulu DAS Cisadane merupakan daerah berbukit dengan ketinggian mencapai 3.000 m dpl dan kemiringan lereng mencapai 40%. Sedangkan bagian hilir sampai bagian tengah merupakan daerah datar hingga bergelombang. DAS Cisadane bagian hulu yang meliputi Kabupaten Bogor dan sebagian Kota Bogor didominasi oleh penggunaan lahan berupa hutan, ladang, perkebunan, pemukiman dan lahankosong. Sedangkan di bagian tengah dan hilir, penggunaan lahan didominasi oleh pemukiman, ladang dan lahan kosong.

Semntara DAS kali Ciliwung adalah Berdasarkan wilayah administrasi, DAS Ciliwung (dari hulu sampai hilir) melingkupi Kab. Bogor, Kodya Bogor, Kodif Depok, dan Propinsi DKI Jakarta dengan deliniasi wilayah sebagai berikut : Bagian hulu DAS Ciliwung sebagian besar termasuk wilayah Kabupaten Bogor yaitu Kecamatan Megamendung, Cisarua dan Ciawi dan sebagian kecil Kota Madya Bogor yaitu Kecamatan Kota Bogor Timur dan Kota Bogor Selatan.

Dari keterangan diatas, jelas terlihat perbedaan DAS. Kali cisadane memiliki DAS yang paling panjang dan Bagian tengah DAS Ciliwung termasuk wilayah Kabupaten Bogor yaitu Kecamatan Sukaraja, Cibinong, Bojonggede dan Cimanggis. Kota Madya Bogor yaitu Kecamatan Kota Bogor Timur, Kota Bogor Tengah, Kota Bogor Utara, dan Tanah Sareal dan Kota Administratif Depok yaitu Kecamatan Pancoran Mas, Sukmajaya dan Beji. Bagian hilir sampai dengan Pintu Air Manggarai termasuk wilayah administrasi pemerintahan Kota Madya Jakarta Selatan dan Jakarta Pusat, lebih ke hilir dari Pintu Air Manggarai, termasuk saluran buatan Kanal Barat, Sungai Ciliwung ini melintasi wilayah Kota Madya Jakarta Pusat, Jakarta Barat dan Jakarta Utara.

Jadi jelaslah bahwa DAS kedua kali berbeda. Artinya ada kemungkinan jika Cisadane penuh/banjir tetapi Ciliwung kering. Artinya hujan turun di Taman Nasional Pangrango dan Taman Nasional Halimun salak serta DAS lainnya. Sebaliknya ada kemungkinan Ciliwung banjir, dan Cisadane kering. Dalam kondisi demikian,maka sodetan sangat berfungsi.

Ketika Ciliwung banjir/penuh, maka air disodet ke Cisadane. Sebaliknya jika Cisadane penuh/banjir maka air disodet ke Ciliwung dan sebaliknya. Permasalahan terjadi ketika hujan turun merata disemua DAS. Baik DAS Ciliwung maupun DAS Cisadane. Dalam kondisi begini, sodetan tidak berfungsi.

Siapakah yang diuntungkan?

Pertanyaan ini sangat tergantung dari fakta dilapangan. Kali manakah yang lebih sering banjir? Kalau dari segi logika, maka yang paling diuntungkan adalah Tangerang. Ada dua alasan. Pertama, Kali Cisadane memiliki debit yang lebih besar. DAS lebih luas dan lebih panjang, dibandingkan dengan Ciliwung. Alasan kedua: Banjir Ciliwung di Jakarta cenderung menurun karena penanganan yang semakin baik, dan DAS nya cenderung stabil. Sebab sudah dari dulu berubah fungsi. Maka sekarang pemerintah dan masyarakat berusaha untuk mempertahankan yang ada sekarang atau lebih memperbaikinya. Sementara DAS Cisadane, ada potensi berubah fungsi.
Read More..