Halaman

Translate

Senin, 31 Juli 2017

IKUT MALAYSIA atau INDONESIA?

Belakangan ini ramai dibicarakan Surat Edaran Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI tentang publikasi Karya Tulis Ilmiah mahasiswa tanggal 27 Januari 2012. Seorang mahasiswa S1 dapat lulus bila Karya Tulis Ilmiahnya atau makalah dimuat dalam Jurnal ilmiah. Untuk dapat lulus S2 (magister) harus telah menghasilkan makalah yang terbit pada jurnal ilmiah nasional diutamakan yang terakreditasi oleh Dikti. Sementara untuk mahasiswa S3 (doctor) harus telah menghasilkan karya tulis ilmiah atau makalah pada jurnal internasional. Alasan dari kebijakan ini adalah karena makalah yang diterbitkan oleh Perguruan Tinggi Malaysia tujuh kali lebih banyak dibanding dengan makalah yang dihasilkan oleh Perguruan Tinggi Indonesia.

Salah satu karakter system informasi manajemen adalah sebagai penyadar (awareness). Jumlah makalah Perguruan Tinggi RI dan Jumlah makalah Perguruan Tinggi Malaysia sudah masuk pada database Dikti. Mereka sadar, bahwa jumlah makalah tersebut sangat timpang. Kalau dari segi jumlah Perguruan Tinggi ( apalagi jumlah mahasiswa Indonesia mungkin sebanyak penduduk Malayisa) pasti lebih banyak di Indonesia. Seakan-akan kepala pejabat pemerintah panas setelah menyadari data itu. Sebagai konsekuensinya timbul niat dengan tujuan baik dan visi yang benar, tetapi tidak memiliki misi.

Visinya tepat/bagus, karena kegiatan sedemikian akan sangat berguna dalam pengembangan kebiasaan mahasiswa dalam menuliskan hasil pengamatan, analisa dan pemikiran secara logis, sistematis dan terstruktur. Misinya tidak tepat (tidak ada misi), karena tidak ada langkah-langkah awal atau pendekatan yang dilaksanakan/dinstruksikan untuk mencapai visi tersebut. Misalnya langkah pertama, mewajibkan setiap Perguruan Tinggi memiliki Jurnal Ilmiah nasional. Setelah itu terlaksana dalam satu tahun, maka dilanjutkan dengan langkah kedua. Semua Jurnal Ilmiah Perguruan Tinggi harus terbit setiap akhir semester dengan ketebalan minimum 100 halaman. Langkah ketiga, setiap Jurnal Ilmiah kampus harus terbit setiap bulan dengan ketebalan minimum 200 halaman. Langkah keempat, Satu Perguruan Tinggi atau gabungan dari beberapa Perguruan TInggi harus memiliki Jurnal Imiah Internasional. Demikian seterusnya hingga dapat dipastikan bahwa semua makalah mahasiswa dapat tertampung dengan baik, perencanaan, pendanaan dan pengelolaannya dapat terlaksana dengan baik pula.

Niat atau visi itu dituangkan dalam bentuk kebijakan yang tidak didasari oleh data internal pendidikan tinggi Indonesia, hanya menunjukkan emosional karena data eksternal dari Negara jiran. Permasalahan yang pertama adalah jumlah mahasiswa yang lulus setiap tahun adalah jutaan, sementara Jurnal Ilmiah yang mampu menampungnya dipastikan tidak cukup. Makalah yang dimaksud juga tidak jelas. Apakah dia skripsi? Kalau yang dimaksud adalah skripsi, maka jumlah halaman satu skripsi lebih dari 100 halaman. Universitas Indonesia (UI) bisa meluluskan kira-kira 5000 sampai 6000 mahasiswa setahun. Itu artinya butuh Jurnal Ilmiah 500.000 sampai 600.000 halaman satu tahun. Itu baru satu universitas. Kalau yang dimaksud adalah hanya ringkasan skripsi, maka jumlah halamannya juga harus ditentukan. Misalnya satu makalah kira-kira 5 sampai dengan 10 halaman, sebagaimana diutarakan rector Universitas Indonesia Prof. Gumilar (Kompas.com) maka diperlukan 25.000 sampai dengan 60.000 halaman Jurnal Ilmiah setiap tahun hanya untuk Universitas Indonesia. Bila jurnal tersebut terbit setiap hari, maka ada 70 sampai 167 halaman setiap hari. Ini merupakan jurnal yang luar biasa besar.

Permasalahan kedua adalah, jurnal ilmiah yang dimaksud itu seperti apa? Apakah media online atau media cetak. Apakah jurnal yang dimiliki oleh internal kampus atau diluar kampus? Dapatkah kita bayangkan berapa tenaga dan biaya yang diperlukan untuk mencetak/menerbitkan jurnal dengan tebal 70 sampai 167 halaman setiap hari? Memang akan mempekerjakan banyak tenaga kerja. Permasalahan ketiga adalah siapa yang mengedit makalah tersebut? Apakah Dosen Pembimbing Akademik atau Tim Redaksi? Kalau skripsi/tesis/disertasi, jelas yang mengedit adalah Dosen Pembimbing Akademik. Tetapi apakah dia masih bagian dari skripsi/tesis/disertasi? Tidak otomatis bila skripsi sudah lulus maka ringkasannya juga lulus. Apakah bisa dijadwalkan 14 sampai 16 skripsi setiap hari untuk satu Perguruan Tinggi? Tampaknya sulit untuk dilaksanakan, karena sudah terjadwal semuanya selesai pada setiap akhir semester. Itu artinya akan terbit setiap akhir semester dengan ketebalan 12.500 sampai dengan 30.000 halaman. Apa ada didunia ini jurnal dengan tebal 12.500 sampai 30.000 halaman sekali terbit? Kalau terlaksana, akan ditemukan di Universitas Indonesia, dan Universitas yang lain sekaligus masuk Museum Rekor Indonesia (MURI) dan Guinnes Book of Record. Permasalahan keempat adalah waktu pelaksanaanya. Peraturan itu dikeluarkan pada 27 Januari 2012 dan akan dilaksanakan pada Agustus 2012. Apa mungkin? Harus dipegang bahwa pendidikan itu merupakan kebutuhan masa depan. Dengan demikian semua proses pendidikan harus direncanakan dengan matang. Tidak boleh berubah seketika ditengah jalan apalagi diujung perjalanan. Hal ini menjadikan dilematis bagi Perguruan Tinggi. Satu sisi harus taat pada peraturan sementara pada sisi yang lain peraturan tidak dapat dilaksanakan tepat waktu.

Apa itu adil untuk semua mahasiswa? Pasal 4 ayat 1 UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyebutkan “Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa”. Adil dalam artian setiap mahasiswa mendapat perlakuan yang sama dan memiliki hak dan kewajiban yang sama. Jangan sampai mahasiswa tidak tamat karena karya tulis ilmiah tahun ini. Kalau untuk mahasiswa yang tamat tahun 2011 beban selain perkuliahan adalah skripsi. Sementara beban mahasiswa tahun 2012 ditambah dengan beban karya tulis ilmiah yang harus terbit terlebih dahulu. Semua mahasiswa pada tahun pertama atau sebelum memasuki perkuliahan sudah menerima matakuliah apa yang harus ditempuh. Inilah momen bagi Perguruan Tinggi untuk mengambil jalan pintas, dengan ungkapan yang penting ada. Sifat keilmiahannya jadi hilang, mutu makalah bisa jauh dari yang diharapkan. Tujuan utamanya menjadi tidak jelas. Mutu pendidikan Indonesia bukannya mampu menyaingi Malaysia, akan tetapi makin jauh.

Permasalahan kelima adalah alasan. Mengapa Negara Indonesia yang besar ini secara terang-terangan mengatakan karena Perguruan Tinggi Malaysia sudah menerbitkan makalah pada jurnal ilmiah tujuh kali lebih banyak dari Perguruan Tinggi Indonesia? Mengapa tidak mencari alasan dengan berdasarkan hukum seperti UU Nomor 20 Tahun 2003, atau alasan tujuan pendidikan tinggi, atau alasan lain yang bersifat ke Indonesia? Suatu saat pendidikan Malaysia mengharuskan mahasiswanya menulis makalah yang terbit di Jurnal Ilmiah minimal 100 halaman seorang. Apa pendidikan Indonesia ikut?

Permasalahan keenam adalah sikap. Sikap buru-buru, tidak hati-hati, tidak berdasar pada fakta/data, tidak empati, tidak pionir/panutan, tidak adil sebagaimana sudah disinggung diatas. Tidak pionir artinya cara pengambilan keputusan seorang pejabat atasan semestinya menjadi panutan juga untuk pejabat dibawahnya.

Namun sikap yang positip juga banyak yaitu: 1) Komunikatif, antara kampus yang satu dengan kampus yang lain saling berkomunikasi dan berdiskusi tentang bentuk implementasi yang terbaik. 2) Berani, pemerintah melakukan sesuatu yang berani. Berani menanggung kritik dari sebagian masyarakat akademis, berani menanggung resiko tidak berhasil atau dilaksanakannya kebijakan tersebut. 3) Rajin menulis dan membaca. Mahasiswa akan lebih rajin membaca dan menulis. 4) Jujur. Sikap jujur akan meningkat dikalangan mahasiswa, sebab semuanya akan lebih transparan. Plagiat akan hilang, dan sekaligus sikap menghargai hasil karya orang lain. 5) Kritis. Setelah membaca dan menganalisa tulisan-tulisan dalam jurnal tersebut tentu saja aka ada komentar. Ada yang mengakui, ada yang menyangkal dan ada pula yang memberi saran. 6) Demokratis, menghargai/menerima hasil karya dan pendapat orang lain dengan lapang dada. 7) Tanggungjawab, setiap mahasiswa wajib mempertanggungjawabkan segala akibat dari tulisannya. Mahasiswa tidak hanya berhubungan dengan dosen pembimbing, akan tetapi berhubungan dengan dan bertanggungjawab kepada masyarakat luas.

Disamping sikap yang timbul, tentu yang paling utama adalah tulisan itu ada masyarakat yang membaca dan menggunakannya/menerapkannya. Manfaat yang lainnya adalah terciptanya ruang belajar baru. Bila Jurnalnya itu online, maka ruang belajar tersebut tak terbatas. Jurnal tersebut menjadi pembelajaran bagi siapa saja, mahasiswa, dosen, aparat pemerintah, LSM, dan masyarakat Indonesia bahkan masyarakat internasional termasuk Malaysia. Manfaat akhir dari semua makalah dan jurnal ilmiah tersebut adalah dampak pada kehidupan yang lebih baik, baik dari segi ekonomi, sikap/karakter/budaya dan kecerdasan berbangsa dan bernegara.

Apakah hubungannya dengan sekolah dasar dan terutama menengah? Surat Edaran Direktorat Pendidikan Tinggi dan respon masyarakat kampus menjadi informasi eksternal terhadap lembaga pendidikan dasar dan menengah. Berita ini menjadi pemicu untuk membiasakan diri menulis. Pemikiran yang muncul untuk diimplementasikan: 1) Kalau mahasiswa harus menulis makalah pada Jurnal Ilmiah, sementara guru semuanya sudah pernah mahasiswa, maka guru juga sebaiknya demikian menuliskan pemikirannya dalam jurnal atau media yang lain. 2).

Tampaknya kegiatan tulis menulis sudah semakin diperhatikan oleh pemerintah, maka lembaga pendidikan dasar dan menengah mengantisipasinya dengan meningkatkan budaya menulis dan atau meringkas tulisan/buku. 3) Memulai membuat Jurnal Ilmiah sekalipun itu tidak keharusan. Penulisnya boleh guru, dan juga paling utama adalah siswa. Tulisan siswa dapat berupa hasil pemikiran, pengamatan, laporan dan bentuk yang lain sebagaimana mereka telah pelajari dalam Mata Pelajaran Bahasa Indonesia. Boleh juga hasil ringkasan/tanggaban atas tulisan orang lain atau ringkasan sebuah buku. Kebijakan penulisan Karya Tulis Ilmiah harus memiliki misi yang jelas dengan memperhatikan kondisi nyata dilapangan.

Artikel ini pernah dimuat dimajalah GEMA Widyakarya, akhir tahun 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar