Halaman

Translate

Senin, 31 Juli 2017

PENDIDIKAN INFOMAL MELALUI PAMERAN

Perubahan Musim

Summer merupakan musim yang paling dinantikan di Eropa. Perubahan sangat ekstrim terjadi. Pohon-pohon yang meranggas berubah menjadi menghijau. Tanah dan air yang menyatu jadi putih karena salju yang membatu, berubah menjadi berwarna-warni karena bunga rerumputan. Penampilan manusia juga terlihat kontras. Mulai dari ujung rambut sampai ujung kaki tertutup rapat oleh pakaian penghangat, berubah menjadi pakaian you can see. Cara berpakaian seperti itu bukan hanya terlihat di ruang terbuka, akan tetapi juga terasa di ruang tertutup seperti kampus. Dapat anda bayangkan bila anda di ruang kelas diajar oleh bule dengan celana pendek, dan baju tipis. Demikian juga toko-toko berubah wajah. Tadinya menjual mantel tebal, jaket kulit, dan pakaian penghangat lainnya berubah menjadi pakaian-pakain pendek dan tipis. Di semua tempat terasa perubahan. Kesempatan tersebut juga dimanfaatkan oleh pelajar terutama auslander untuk mencari duit, dengan kerja paruh waktu. Dan yang paling aneh dan tidak akan di jumpai di Indonesia adalah perubahan sinar matahari. Tadinya matahari kadang hanya bersinar satu jam sehari, pada musim panas bersinar lebih pagi dan bahkan hingga pukul 21.00. Sinar matahari inilah penyebab pangkal semua perubahan itu.

Berbeda dengan Indonesia, sinar matahari konstan setiap hari. Libur bisa dipindahkan kapan saja sesuai dengan kebijakan pemerintah, sebagaimana pada tahun tujupuluhan, libur kenaikan kelas adalah pada akhir Desember hingga awal Januari. Karena pergantian tahun, semua manusia begitu sibuk, agar liburan lebih bermakna maka dipindahkan pada Juli seperti sekarang ini. Suasana tidak begitu terasa di semua tempat sebagaimana di Eropah. Tetapi perubahan itu cukup terasa bila kita pergi ketempat-tempat umum seperti mall, Senayan dan tempat lain.

Perusahaan memanfaatkan momen tersebut untuk promosi. Seperti Pemerintah DKI Jakarta memanfaatkan momen liburan itu dengan mengadakan Pekan Raya Jakarta (PRJ) sekaligus memperingati ulang tahun kota Jakarta selama satu bulan penuh setiap tahun. Sekalipun tiket masuk Rp 20.000 perorang, tetapi PRJ tetap menjadi lautan manusia dan kendaraan. Tentu dapat dibayangkan besar transaksi yang terjadi di dalamnya. Kita sebagai orang tua yang membawa anak, berusaha memperkenalkan PRJ sekaligus menumbuhkan cinta terhadap DKI Jakarta.

Namanya anak-anak, matanya tertuju pada segala bentuk permainan. Semua permainan di coba tanpa memikirkan biaya. Kita sebagai orangtua bertindak sebagai pengendali. Kita mengarahkan anak-anak dengan permainan yang lebih baik dan dengan berbagai pertimbangan dan alasan. Dengan harapan, mereka juga menyadari dan menyesuaikan diri dengan situasi.

Pendidikan Tanggungjawab Bersama

Suasana berbeda jauh ketika kita melihat pameran yang diselenggarakan majalah Bobo di Senayan selama 8 hari. Anak-anak sangat menyukai momen tersebut. Setiap booth berhubungan dengan anak-anak. Tidak tampak dimata kita kalau perusahaan tersebut sedang pameran dan sedang berusaha mencari laba. Setiap anak yang mengikuti permainan/event, mendapat hadiah, walaupun hanya sebuah balon. Banyak event yang menarik perhatian anak-anak dan sekaligus mendidik. Anak memandang asing suasana tersebut. Disinilah kita melihat seberapa cepat anak tersebut mampu menyesuaikan diri. Pertama mereka malu-malu untuk mengikuti event. Lama kelamaan, waktu jadi kurang untuk mengikuti semua kegiatan. Tidak terasa perut juga lapar. Kebetulan tidak ada yang menjual makanan dan perusahaan Sari Roti membuka stand dengan makan roti tawar gratis, asalkan anak yang mengoles sendiri selainya.

Pertama anak-anak malu, dan juga tidak terbiasa menyediakan roti sendiri di rumah kalau ada orangtua. Tetapi karena perut makin lapar dan memutar kembali melewati stand tersebut akhirnya mampir juga. Tetapi mereka hanya memandang anak-anak yang lain makan roti. Saya mengerti anak saya lapar dan ingin menikmati roti tersebut, akhirnya saya bantu duduk dan mulai memegang roti dan anak juga ikut. Setelah anak saya selesai sepotong roti dan menggigit sekali, langsung saya ambil dan makan. “Bikin lagi, bapak juga lapar”. Tidak begitu lama, dia lancar dan terpaksa saya kendalikan, “Stop! Sudah cukup”. “Ini roti ke berapa?”. Baru lima pak, jawabnya. Sementara anak saya yang lain baru makan 1 atau 2 roti. Kita memberikan pelajaran kepada anak untuk mampu mengendalikan diri dan juga menghindari kerakusan.

Kita keliling lagi mengikuti permainan yang lain. Kali ini mereka lebih bebas, karena sudah mulai mengenal medan. Kami orangtua sudah mulai capek, dan mencari tempat duduk sekedar istirahat. Setelah saya pantau keempat anak saya pergi lagi makan roti tawar gratis dari Sari Roti dengan inisyatif sendiri. Kali ini saya tidak melarang dan mereka tidak tahu kalau mereka sedang dipantau. Tidak berapa lama mereka pergi mencari mainan lagi.

Sari Roti tidak mencari untung pada saat itu, akan tetapi benar-benar memberikan pelayanan pendidikan kepada anak-anak. Nilai yang ditumbuhkan adalah keberanian. Seandainya suasana itu di rumah atau di sekolah, pasti tidak ada rasa malu, sebab semua orang sudah di kenal. Tetapi berbeda dengan di pameran. Mereka tidak mengenal penjaga roti, tidak mengenal yang sedang makan roti. Mereka memerlukan waktu untuk memahami kalau anak-anak yang sedang makan roti adalah juga pengunjung yang berhak makan roti gratis, sehingga keberanian muncul.

Nilai yang kedua adalah kemandirian. Semua anak di sana ditongkrongi oleh orangtua masing-masing. Anak-anak sedang asyik sedang mengoles sendiri roti masing-masing. Ada yang blepotan hingga kemana-mana. Ada yang mencampur coklat, nenas, bluberry, kacang dalam satu roti. Anak saya yang ketiga menawarkan sepotong roti tetapi minta imbalan dibeli tas sekolah, dan berakhir dengan “deal”. Ukuran kemandirian lain adalah ketika anak-anak pergi dengan inisyatif sendiri dan makan secukupnya (tidak berlebihan).

Nilai yang ketiga adalah pengendalian diri. Mereka sudah mampu mengendalikan diri, dengan alat ukur makanan yang mereka makan. Jedah antara makan roti pertama dengan kedua cukup lama. Artinya tenaga roti pertama sudah hampir habis. Kalau tahap pertama anak kedua saya, makan 5 potong, maka tahap kedua hanya 2 potong. Demikian juga anak yang lain.

Nilai yang keempat muncul dalam pameran tersebut adalah kerjasama. Mereka bekerjasama dalam menyusun potongan gambar sehingga terbentuk gambar yang utuh. Kegiatan seperti ini sebetulnya sudah basi bagi mereka, tetapi karena suasananya berbeda akhirnya menarik juga. Kesalahan seseorang dalam penempatan potongan gambar tidak langsung ditanggabi emosional. Tidak ada yang mempersalahkan siapa sekalipun ada kesalahan.

Nilai yang kelima muncul dalam even tersebut adalah kesenangan. Kesenangan merupakan kebutuhan yang utama. Dalam kondisi senang, mereka akan lebih mudah turut pada orangtua.

Tentu saja masih banyak nilai yang tertangkap dalam pikiran mereka. Apa saja yang ditangkap oleh panca indera dan pikiran mereka, merupakan pengalaman sekaligus bahan pelajaran bagi mereka yang menimbulkan sikap yang luput dari pengamatan kita. Apakah yang diharapkan oleh Sari Roti dan perusahaan yang lain? Yang mereka harapkan adalah hubungan phisikologis atau ikatan batin yang kuat antara pelanggan dengan produsen. Mereka menciptakan suasana kekeluargaan. Anak-anak serasa di rumah sendiri. Sari Roti dianggab rumah mereka sendiri. Apakah Sari Roti menyadari bahwa mereka sudah menyelenggarakan pendidikan? Bagi mereka itu tidak penting. Tetapi bagi masyarakat atau bagi pemerintah itu penting, agar semua perusahaan memperhatikan pendidikan dalam setiap programnya.

Barangkali perusahaan sudah bangga dengan program Corporate Social Responsibility (CSR ) nya. Atau dengan CSR sudah merasa cukup untuk masyarakat Indonesia. UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 6 ayat (2): “Setiap warga negara bertanggung jawab terhadap keberlangsungan penyelenggaraan pendidikan”. Wujud pasal ini tidak selalu membentuk lembaga pendidikan formal atau nonformal atau memberikan beasiswa tetapi juga penyisipan nilai dalam programnya seperti diatas. Semoga semua perusahaan di tanah air mampu menerapkannya.

Artikel ini pengalaman pribadi 5 tahun yang lalu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar