Halaman

Translate

Senin, 31 Juli 2017

TUMPUL ke ATAS TAJAM ke BAWAH



Peranan Media

Tidak dapat kita pungkiri bahwa media akhir-akhir ini menyedot waktu dan perhatian banyak orang. Mereka menyuguhkan berbagai macam informasi dan hiburan. Secara tidak sadar media tersebut telah melakukan proses belajar. Media tersebut telah menjadi lembaga pendidikan informal. Lembaga pendidikan yang proses pelaksanaanya tidak diatur oleh undang-undang Sistem Penidikan Nasional. Lembaga pendidikan dengan berbagai latarbelakang murid, siswa dan mahasiswa serta siapa saja. Setiap orang membentuk kurikulum masing-masing, membentuk jurusan masing-masing, menyusun program masing-masing sesuai waktu dan kebutuhan. Media menyajikan berbagai materi pelajaran. Semua orang dapat menjadi guru atau dosen sekalipun belum disertifikasi. Itulah sebabnya kami memberikan materi hukum pada media, sekalipun kami tidak ada latarbelakang hukum. Pengetahuan hukum yang kami dapat adalah melalui pendidikan informal dan pengembangannya dengan perenungan. Dengan harapan ada manfaatnya untuk public maupun untuk penulis sendiri.

Manusia sebagai Mahkluk individu dan Sosial

Hukum tidak berlaku untuk diri sendiri. Hukum berlaku apabila ada dua orang atau lebih manusia. yang saling berinteraksi. Sesuai dengan kodratnya bahwa manusia adalah mahluk social yang senantiasa memerlukan orang lain dalam rangka memenuhi semua kebutuhannya. Tak seorangpun manusia di permukaan bumi ini mampu memenuhi kebutuhannya sendiri. Sekalipun ada manusia seperti itu pastilah manusia yang jauh dari bahagia.

Dalam interaksi tersebut pasti akan terjadi berbagai macam permasalahan ataupun perselisihan. Permasalahan bisnis, permasalahan keadilan, persaingan, harga diri dan lain sebagainya. Hal ini sesuai dengan hukum yang menyatakan bahwa selain mahkluk social, manusia juga sebagai mahkluk individu. Tidak ada manusia yang sama 100%. Secara phisik boleh sama, tetapi secara rohani pasti berbeda. Berbeda dengan selera, berbeda dengan daya pikir, berbeda dengan keinginan, berbeda dengan sifat, berbeda dengan kekuatan, dan perbedaan yang lain.

Yang kuat dapat memperbudak yang lemah. Yang pintar dapat memperdaya yang bodoh. Yang kaya dapat membeli apa saja yang dia inginkan. Mengapa terjadi demikan? Tentu jawabannya karena manusia tidak sama, manusia mahkluk individu. Kalau sama, tidak ada yang kuat, tidak ada yang lemah. Tidak ada yang kaya dan tidak ada yang miskin. Tidak ada yang pintar dan tidak ada yang bodoh. Apakah ada perbudakan? Apakah orang pintar memperdaya orang bodoh? Apakah orang kaya membeli semua yang diinginkannya? Jawabannya ya atau tidak. Jawabannya “tidak” bila ada hukum dan hukum tersebut ditegakkan. Jawabannya “ya” bila tidak ada hukum atau ada hukum tetapi tidak ditegakkan.

Hukum berfungsi untuk menciptakan ketertiban dan perdamaian masyarakat. Hukum membatasi penggunaan kekuatan seseorang. Hukum membatasi keinginan seseorang. Hukum membatasi kepemilikan seseorang. Hukum melindungi orang lemah. Hukum melindungi minoritas. Hukum menjamin keseimbangan hak dan kewajiban. Hukum mengatur antara hak orang/masyarakat yang satu dengan orang/masyarakat yang lain. Setiap orang berhak mendapat perlindungan hukum, sesuai dengan konstitusi kita. Yang menjadi pertanyaan adalah apakah hukum tersebut sudah tepat mampu menciptakan ketertiban dan perdamaian? Apakah hukum itu sebagai alat pemicu kreatifitas masyarakat? Apakah hukum itu sudah berperan sebagai alat pemicu peningkatan ekonomi masyarakat? apakah hukum itu sudah menciptakan keadilan? Apakah hukum itu sudah menjamin hak setiap orang? Atau apakah hukum itu malah membuat orang pesimis? Apakah hukum itu memicu orang makin belajar? Apakah para penegak hukum sudah bekerja dengan adil, tegas dan berani? Begitu banyak pertanyaan yang dapat kita ajukan tentang hukum, penegak hukum dan pengadilan.



Hukum Tumpul ke atas tapi Tajam ke bawah

Hukum tumpul ke atas tetapi tajam ke bawah. Inilah ungkapan kekecewaan masyarakat terhadap pelaksanaan hukum di negeri ini. Ke atas maksudnya adalah mereka golongan atas seperti Presiden, menteri, gubernur, bupati/walikota, anggota DPR, pejabat tinggi Negara, pejabat tinggi pemerintahan, orang kaya dan lain-lain. Ke bawah maksudnya adalah mereka orang jelata atau orang miskin, orang lemah. Tumpul artinya susah menyelidiki, menyidik, mengadili dan susah memutuskan. Sementara tajam adalah mudah/cepat menyelidiki, menyidik, mengadili dan mudah/cepat memutuskan.

Ungkapan “hokum tumpul ke atas dan tajam ke bawah” tidak mungkin muncul begitu saja, akan tetapi karena frekuensi kejadian yang besar. Sering terjadi, maka masyarakat mengungkapkan itu. Lagi pula secara logika adalah tepat. Proses pengadilan atau hokum selalu di mulai dari pengajuan pertanyaan. Jawaban yang bersifat professional seringkali membutuhkan jauh lebih banyak informasi, namun watak manusiawi mendorong kita untuk mencari jawaban tersebut secepatnya. (Craig A. Methler, 2011). Mari kita lihat jawaban Bush 43, ketika kampanye presiden USA ke 43. Apakah anda dulu mengkonsumsi narkoba dan miras? Bush selalu menghindari pertanyaan ini, hingga berbulan-bulan. Akhirnya suatu ketika dia harus menjawab, “ketika saya muda, ada perbuatan saya yang tidak bertanggungjawab”. Demikian juga presiden USA ke 42 Bill Clinton tidak pernah menjawab secara tegas bahwa dia selingkuh dengan Monica Lewinski.

Dari faktor menjawab pertanyaan, orang Atas menjawab dengan berbelit-belit karena pengetahuannya yang luas, sementara orang Bawah menjawab dengan singkat. Factor yang lain juga sangat dahsyat seperti uang, kekuasaan, keamanan, informasi dan lain-lain.

Sesungguhnya penggunaan ungkapan “Hukum tumpul ke atas tetapi tajam ke bawah” tidak tepat. Hukum itu tidak pernah tumpul baik ke bawah maupun keatas. Hukum juga tidak pernah tajam baik ke bawah maupun ke atas. Sebelum orang atas melakukan kejahatan, hukumnya sudah ada. Sebelum orang bawah melakukan kejahatan, hukumnya juga sudah ada. Hukum untuk orang atas dan orang bawah sama saja, yang berbeda adalah tindakannya (kejahatannya). Seandainya hukum itu tajam ke bawah dan tumpul ke atas, maka segeralah kita merubah hukumnya. Hukum itu sudah ada tertulis, tersusun dalam kalimat Bahasa Indonesia yang baik dan benar. Kita gantilah kalimatnya menjadi kalimat yang benar, tidak tajam ke bawah dan juga tidak tumpul ke atas. Penggunaan kata hukum sebaiknya diganti dengan pengadilan. Hukum sudah terang dan jelas tertulis. Siapa saja boleh membaca dan mempelajarinya. Tetapi hasil dari pengadilan, tak seorangpun yang tahu termasuk hakim itu sendiri sebelum semua tahapan pengadilan selesai. Barangkali proses pengadilan inilah yang ada kemungkinan untuk dipermainkan menjadi tajam atau tumpul. Sangat tergantung dari mereka yang terlibat dalam pengadilan tersebut. Akhir-akhir ini ramai dibicarakan pencurian sandal. Banyak orang menyalahkan aparat penegak hukum karena menghukum orang tersebut dengan “bersalah”. Berbagai bentuk protes dan sindiran dilakukan masyarakat. Pencuri (masih dibawah umur menurut hukum) tersebut mengadu ke komnas HAM komisi anak, kemudian Komnas HAM melakukan perbicangan dan menghadiahi sepasang sandal persis sama (merek sama) dengan sandal yang dicuri anak tersebut. Ada lembaga masyarakat yang mengumpulkan sandal dan mengirimkannya ke Kapolri. Dan berbagai macam reaksi masyarakat.

Sesungguhnya siapakah yang kita bela? Apakah kita membela hukum? Apakah hukum perlu ditegakkan? Sang anak benar bersalah mencuri sandal, dan hakim memutuskan bersalah. Itu artinya hukum ditegakkan. Seandainya sang anak benar bersalah mencuri, tetapi pengadilan memutuskan tidak bersalah, itu artinya hukum tidak ditegakkan. Masalahnya dimana sehingga masyarakat protes? Orang yang kehilangan sandal mengadukan pencurinya ke yang berwajib, itu juga tindakan yang dibenarkan oleh hukum. Yang tidak benar adalah bila ada penghakiman sendiri. Polisi menerima aduan dan memprosesnya sampai kekejaksaan. Itu juga benar menurut hukum. Kejaksaan membawanya ke pengadilan. Itu juga benar menurut hukum. Pengadilan memutuskan bersalah. Itu Juga benar menurut hukum. Jadi sekali lagi masalahnya dimana? Apakah karena kasus besar seperti Bank Century belum tuntas? Kalau ya, apa hubungannya? Kasus Bank Century dengan Kasus pencurian sandal adalah kejadian saling lepas. Tidak ada (sangat jauh) kaitan apalagi hubungannya. Barangkali masalahnya terletak pada nilai barang yang dicuri. Sepasang sandal kira-kira harganya Rp 100.000, dan lebih murah lagi kalau sandal itu sandal bekas. Hukum tidak mencatat nilai yang dicuri. Bila kita tilik dari sudut ekonomi, sungguh sangat merugikan Negara. Coba kita bayangkan bila pengadilan mengurus pencuri sepasang sandal yang harganya kira-kira Rp100.000. Gedung pengadilan itu dibangun dengan biaya ratusan juta rupiah atau milyaran rupiah. Gaji hakim, panitera, jaksa itu jutaan rupiah setiap bulan. Biaya operasional pengadilan tersebut seperti listrik, air telepon dan lain-lain juga jutaan rupiah. Biaya pengacara, biaya transport dan biaya yang lain sungguh-sungguh tidak sebanding dengan nilai Rp 100.000 yang diperjuangkan dan dampak jera yang ditimbulkan terhadap pelaku dan masyarakat lainnnya. Belum lagi kemasan media massa yang menjual berita tersebut sehingga mengundang perhatian banyak orang.

Apa bandingan hukum itu?

Bisa kita bayangkan apa yang terjadi bila setiap pengadilan di negeri ini mengalami hal yang sama seperti pencurian sandal, kakao, semangka dan pencurian tetek bengek lainnya. Pasti tidak ada waktu untuk mengurus masalah besar sebesar kasus Edy Tansil (senilai 1,3 Triliun yang sudah terlupakan), Kasus Century 6,7 Trilliun dan kasus besar lainnya yang melibatkan banyak orang. Hukum yang dibuat oleh manusia harus berbeda dengan hukum yang dibuat oleh Tuhan. Menurut kitab suci Nasrani (maaf, hanya contoh), mencuri sandal dengan mencuri sapi sama saja. Mencuri sandal sama dengan berdosa. Mencuri sapi juga sama berdosa. Karena Tuhan melihat kesetiaan umatnya, bukan nilai barang yang dicurinya. Tuhan juga yang mengadilinya. Administrasi Tuhan tak bisa dibandingkan dengan administrasi pengadilan dinegeri ini. Setiap kasus perbuatan manusia, Tuhan tidak pernah luput mencatat dan mengadilinya. Tuhan tak pernah kekurangan waktu untuk mengadilinya. Berbeda dengan pengadilan kita, kalau pengadilan lebih banyak mengadili pencurian sandal, semangka, kakao dan tetek bengek lainnya, pasti tidak ada waktu untuk mengurusi kasus besar yang menyangkut hajat hidup orang banyak.

Tentu saja hukum Tuhan (Kitab Suci) tidak bisa diadopsi langsung sebagai hukum Negara, akan tetapi hanya sebagai bahan perbandingan. Sebagaimana diutarakan diatas, dosa mencuri sandal sama dengan dosa pencuri sapi. Bagi manusia itu tidak adil. Tidak bisa diterapkan, akan tetapi akan mendapat protes keras, paling tidak berisik “hukum tumpul ke atas, tetapi tajam ke bawah”. Bagi Tuhan itu adil. Sekali lagi Tuhan melihat dari sudut kesetiaanya, bukan mengurus uang atau barang yang dinilai dengan uang. Sebaliknya manusia menciptakan hukum untuk menciptakan keasetiaan/kepatuhan orang terhadap hukum dan juga yang terpenting adalah hukuman sesuai dengan nilai barang/jabatan yang disalahgunakan atau sesuai dengan perbuatannya.

Hukum yang lain yang menjadi acuan adalah hukum Alam. Hukum alam juga berasal dari Tuhan. Hukum itu sudah ada, akan tetapi manusia secara perlahan-lahan menemukannya seiring dengan perkembangan peradaban manusia. Kita misalkan dengan hukum yang berlaku pada air, “air mengalir dari tempat tinggi ke tempat yang rendah”. Dimanapun di dunia ini air mengalir seperti itu. Manusia dapat memanfaatkan hukum tersebut sebagai pengangkutan, pembangkit Listrik dan lain-lain. Hukum tersebut juga berdampak negative bila manusia itu lalai. Air bisa menghanyutkan, membuat longsor, menenggelamkan (banjir) seperti terjadi di berbagai daerah di negeri ini. Hukum air adalah kekal. Sudah ada dari jaman dahulu, sekarang dan sampai kapanpun tetap begitu. Manusia tinggal meningkatkan ilmu pengetahuan dan penerapannya untuk memanfaatkan sifat/hukum air tersebut dan menghindari akibatnya.

Demikianlah sempurnanya hukum alam yang diciptakan Tuhan itu. Itulah acuan hukum yang akan dibuat oleh manusia. Hukum menuju kesempurnaan. Manusia menyesuaikan diri dengan hukum. Manusia menyesuaikan dengan hokum air tersebut. Manusia menciptakan perahu/sampan, kapal layar, kapal mesin untuk pengangkutan, manusia menciptakan generator yang digerakkan oleh air untuk menghasilkan energy listrik, dan lain-lain bentuk adaptasi manusia terhadap hokum air tersebut. Bukan sebaliknya hukum menyesuaikan diri dengan manusia. apabila tidak sesuai dengan keinginan, tidak menguntungkan dirinya, maka hokum yang dirubah. Sering gonta-gantinya hokum membuat manusia tidak percaya pada hokum, atau lebih ekstrim lagi manusia tidak mau tahu dengan hokum. Kata pakar hokum, hukum menjadi mati, hanya text, hanya tulisan dalam bentuk kalimat. Semestinya hokum itu harus hidup. Artinya masyarakat peduli dan mematuhinya dengan sesadar-sadarnya. Oleh karena itu hokum harus memiliki daya jangkau yang cukup jauh kedepan. Jangan hukum berlaku hanya untuk 1 tahun, 2 tahun atau hanya 5 tahun. Sekalipun harus diubah, sebaiknya tidak fundamental, akan tetapi hanya revisi.

Oleh karena itu hukum harus memberi kewenangan kepada komunitas seperti lingkungan, masyarakat adat, perangkat desa dan lain-lain. Hukum harus tertulis secara jelas, apabila terjadi pencurian di bawah Rp 100.000,00 (misal), maka kasusnya tidak perlu sampai kepada pengadilan. Sebaiknya selesai pada tingkat komunitas masyarakat, atau sampai pada tingkat kepolisian untuk mengawal perdamaian. Sekalipun harus sampai pada tingkat pengadilan, harus memiliki alasan yang kuat, misalnya sering melakukan kejadian yang sama. Sepuluh tahun yang akan datang, uang Rp 100.000,00 tidak mampu membeli sandal. Oleh karena itu hukum tersebut direvisi dengan mengganti angka tersebut menjadi angka yang rational, tanpa mengubah substansinya. Hayo… kepada bapak ibu yang terhormat pembuat hokum di negeri ini, segeralah buat/revisilah hukum yang menciptakan keadilan, kedamaian, dan menimbulkan kesejahteraan serta memicu kecerdasan masyarakat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar